Senin, 25 November 2019

“Pengembangan Pelayanan Diakonia Reformatif dan Transformatif” (Lukas 4:18,19).



PENDAHULUAN

Harapan yang terkandung dari tema Pengembangan Pelayanan Diakonia Reformatif dan Diakonia Transformatif adalah terwujudnya bentuk layanan yang memberi perhatian kepada kesejahteraan hidup jemat. Apakah dalam wujud sebagai penyalur (=jembatan) atau dalam wujud wadah usaha kerja. Oleh karena itu diharapkan masing-masing Komisi/Forum/Tim ada suatu kerjasama dalam pengupayaannya.
Jikalau kita mencermati Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ menjelaskan tentang pelayanan holistik yang harus ada dan terjadi di setiap gerejaNya. Pelayanan holistik adalah pelayanan yang menyeluruh meliputi mengatur kehidup an/pemerintahan (organisasi) gereja yang menjadi tugas utama Penatua. Pe ngajaran dan sakramen yang menjadi tugas utama Pendeta dan pelayanan kasih dengan memperhatikan kesejahteraan hidup jemaat dan masyarakat yang men jadi tugas utama Diaken.[1]
Dalam realita pelayanan sering hanya memberi penekanan kepada peningkatan iman jemaat dan kehidupan/pemerintahan (organisasi) gereja serta sering menekankan  bagaimana jemaat harus mempunyai peningkatan kesadaran berpersembahan. Kita kurang memperhatikan sumber pendapatan (=pekerjaan) jemaat dan tentang hal kesejahteraan hidup jemaat.
Salah satu tema diskusi dalam Sidang Raya PGI XVI di Gunung Sitoli, Pulau Nias, Sumatera Utara adalah tentang Pemberdayaan Ekonomi Jemaat dan Pengentasan Kemiskinan. Pokok diskusinya adalah bahwa pemberdayaan ekonomi jemaat merupakan bagian dari pelayanan diakonia gereja. Dalam rangka mengembangkan ekonomi jemaat, dimaksudkan agar dengan inisiatif bersama, maka upaya-upaya untuk mengembangkan ekonomi jemaat (secara pribadi maupun keluarga) di jemaat bisa bergulir.
Sudah saatnya dan demi terwujudnya tema 2019 tersebut kita memberi perhatian pada sisi kesejahteraan jemaat terkhusus dalam hal pendampingan ketrampilan dan maupun usaha kerja. Dikandung maksud agar pelayanan gereja benar-benar menuju ke pelayanan yang holistik. Tidak hanya pada penekanan kehidupan dan pemerintahan gereja dan tidak hanya kepada pengajaran gereja namun juga memberi keseimbangan kepada kesejahteraan jemaat yang meluas kepada masyarakat.
Diakonia dalam tradisi Gereja yang sempit diwujudkan dalam kegiatan menyantuni orang miskin, terlantar, dan sakit (=Diakonia Karitatif). Diakonia dalam makna yang lebih luas adalah melayani supaya orang hidup, dalam segala kepenuhannya (=Diakonia Reformatif). Maka mengupayakan lapangan kerja bagi yang kena PHK atau tidak bekerja, mengupayakan keterampilan dan keahlian untuk modal bekerja, menghubungkan dengan pihak-pihak yang membutuhkan tenaga kerja, mengupayakan tumbuhnya usaha rumah tangga untuk mendapatkan tambahan penghasilan dan kegiatan yang produktif, dan mendukung semua upaya mengembangkan ekonomi dengan semangat kasih yang sedia berbagi, hidup bersahaja, dan mempunyai prioritas itulah arahan pencapaiannya.[2]
Sehingga pada saatnya, jemaat dapat hidup dan menghidupi kebutuhannya sendiri mencapai kebahagiaannya (Diakonia Transformatif). Gereja yang tidak berdiakonia adalah gereja yang mati; mengabaikan karunia-karunia Allah dan belum sungguh-sungguh menghayati kasih Kristus.[3]

PEMAKNAAN AYAT

Lukas 4:18,19
“Roh   Tuhan   ada   padaKu,   oleh   sebab   Ia   telah   mengurapi   Aku,   untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk  memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk  membebaskan   orang-orang   yang  tertindas, untuk  memberitakan tahun  rahmat Tuhan telah datang.”
Melalui ayat tersebut Tuhan Yesus menegaskan  bahwa  kehadiran-Nya  di dunia adalah untuk menghadirkan “pembebasan” bagi manusia. Pembebasan ini tidak hanya dalam arti spiritual berupa pembebasan dari dosa, gangguan roh-roh jahat serta berorientasi kepada yang Ilahi,  tetapi  juga pembebasan dalam arti  sosio-budaya : dari  kemiskinan, kebodohan, keterbelengguan strata sosial dan kemiskinan  relasi sosial dengan pihak lain. Bagi  Tuhan Yesus, pembebasan adalah pembebasan yang bersifat holistik, menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia baik secara rohani maupun jasmani.
Landasan   Teologis   bagi keterlibatan Gereja dalam pembangunan kesejahteraan sosial bertumpu kepada apa yang telah dilakukan  oleh Tuhan Yesus sendiri.  Ia menjelma  menjadi  manusia dalam rangka mewujudkan keselamatan bagi manusia, termasuk di dalamnya adalah pembangunan kesejahteraan sosial. Ia merasakan kelaparan yang sama dengan orang-orang di sekitarnya. Ia mengalami penderitaan akibat penjajahan Romawi sama seperti manusia sezaman-Nya. Ia tidak duduk di istana atau tinggal di balik bangunan   megah   yang   tertutup   rapat   dengan   penjagaan   ketat,   tetapi   Ia   duduk   bersama kumpulan   orang   berdosa   (Mar 2,16). Hal itu semua dilakukanNya untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia dengan memberikan kehidupan yang berkelimpahan.
Solidaritas   Kristus   atas   manusia   sebagai puncak   dan   pusat karya-Nya   menjadi dasar untuk pekerjaan-pekerjaan sosial yang dilakukan Gereja dalam pengembangan karya sosial ekonomi dewasa ini. Allah  menghendaki setiap  manusia berkembang ke arah  martabat sebagai citra Allah dengan  terpenuhinya   kebutuhan dasar : sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu, Gereja tidak  boleh tinggal diam dalam upaya pembangunan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dan warganya.[4]

APLIKASI

Dengan meneladan Kristus yang datang kepada manusia untuk memberi hidup, maka tujuan Gereja dalam mengusahakan kesejahteraan sosial adalah untuk memelihara dan bertanggungjawab atas pribadi manusia yang telah dipercayakan Kristus kepadanya agar setiap manusia dapat hidup dalam martabat sebagai citra Allah dengan terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Dalam perspektif ini, keterlibatan Gereja dalam permasalahan sosial dan upaya peningkatan   sosial   ekonomi   harus   benar-benar   mewujud secara nyata baik dijemaat demikian pula di tengah  masyarakat sebagai jawaban Gereja atas  persoalan  sosial ekonomi yang muncul.

PENGEMBANGAN PELAYANAN  DIAKONIA REFORMATIF DAN TRANSFORMATIF

E Gerrit Singgih[5] menjelaskan bahwa perhatian pada sumber daya manusia hal itu berarti membentuk generasi profesional mandiri. Sehingga yang menjadi perhatian adalah bagaimana meningkatkan sumber daya tersebut sehingga potensinya dapat berlipat ganda dan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Gereja dalam berpelayanan tidak hanya terpusat pada moral-iman-ritual dan pemerintahan/kehidupan bergereja saja melainkan harus sampai kepada pelayanan kesejahteraan kehidupan finansial jemaatnya.
Di sinilah peran penting diakonia yang secara kelembagaan menjadi tugas dan tanggung jawab Majelis Diaken, Komisi Diakonia, Tim Peberdayaan Ekonomi Jemaat (TPEJ) bahkan juga Komisis/Forum/Tim yang mempunyai program pemberdayaan ekonomi. 

1.        Pengertian Diakonia

Secara harafiah, kata diakonia berati “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan). Dalam PB, ada 5 kata lain yang memiliki makna “melayani” : douleuin (melayani sebagai budak Roma 1:1), latreuein (melayani Tuhan, bukan untuk sesama Roma 12:1), leitourgein (melayani umum, demi kesejahteraan rakyat Roma 15:27, 2 Kor. 9:12), therapeuein (mengurus atau menyembuhkan), huperetein (pelayan hukum Mat. 5:25).
Kelompok kata diakonein mempunyai nuansa khusus, yaitu menyangkut/kena mengena dengan pelayanan antar sesama manusia. Kata ini mula-mula berarti : pelayanan pada meja makan, naik dalam arti mempersiapkan jamuan makan (Kis. 6:2) maupun dalam arti pekerjaan pelayan meja, yang siap melayani para tamu (Luk. 12:37; 17:8; Yoh. 2:5,9). Pelayanan seperti itu biasanya dianggap pekerjaan yang rendah, yang dilakukan oleh para budak saja (Yoh. 13:4). Dari arti harafiah ini terungkap juga arti melayani sesama secara umum, yaitu sesama yang lebih rendah kedudukannya (Luk. 22:26,27). Mengenai para wanita yang mengikuti Yesus dikatakan mereka melayani-Nya dengan harta benda (Luk. 8:3), sementara Matius 25:31 – 46 melukiskan pelayanan sebagai memberi makan dan minum, memberi pakaian dan tumpangan, perawatan dan kunjungan orang yang sakit serta para tahanan yang dilihat sebagai pelayanan kepada Tuhan Allah.[6]
Dalam perkembangan selanjutnya, kata diakonia dipakai oleh Gereja untuk menyebut semua pekerjaan pelayanan yang dilakukan oleh orang-orang beriman maupun oleh Gereja kepada sesama yang menderita, yang miskin, dan yang tertindas.

2.        Diakonia Reformatif

Diakonia Reformatif adalah pelayanan yang dilakukan dengan cara memberikan fasilitas dan keterampilan-keterampilan tertentu bagi kelompok-kelompok yang dibantu sehingga ia mampu mendapatkan hasil usaha dari apa yang telah dilakukannya sendiri. Analogi model ini adalah memberikan kail ketrampilan memancing supaya ia mengusahakan sendiri.
Pelayanan jenis ini berusaha meningkatkan kehidupan atau kondisi yang dilayani, misalnya melalui penyuluhan atau pemberian bantuan berupa modal kerja, penyelenggaraan kursus-kursus keterampilan atau gereja menjadi penyalur (=menghubungkan) dengan instansi-instansi tenaga kerja, seperti BLK dan menjadi penyalur (=mencarikan) lapangan pekerjaan.[7]

3.        Diakonia Transformatif

Diakonia Transformatif adalah pelayanan gereja secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi-sektoral (ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama) yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya. Diakonia ini bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup. Dianalogikan dengan gambar mata terbuka artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.[8]
Analogi diakonia ini adalah kelanjutan dari Diakonia Reformatif yaitu setelah orang kelaparan tersebut diberikan pancing dan diajari teknik memancing, orang tersebut pergi ke sungai untuk memancing, ternyata dia diusir dari sana, karena sungai tersebut telah dikuasai oleh orang lain. Lalu pergi ke sungai yang lain lagi, disana dia mengalami kekecewaan karena di sungai itu tidak ada ikan lagi, airnya sudah tercemar berat oleh limbah pabrik maka ia harus berusaha mancari tempat lainnya lagi sampai menemukan dan dapat memancing dan dapat ikan banyak.

SASARAN PENCAPAIAN

Tema ini memberi penekanan kepada kebutuhan finansial hidup jemaat yang diwujudkan dalam pemberdayaan ekonomi jemaat dengan harapan terjadi peningkatan kesejahteraan jemaat. Namun demikian pelayanan moral-iman-ritual dan pemerintahan/kehidupan bergereja tetap menjadi program dan tetap dilaksanakan.




























[1] Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa, Tata Gereja dan tata Laksana Gereja Kristen Jawa: Salatiga,  Sinoge GKJ, 2018, h.17  band. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Ps.6,7, 2005.
[2] https://pgi.or.id/sr-xvi-pgi-pemberdayaan-ekonomi-jemaat-tak-lagi-bicara-teori/
[3] G Riemer, Jemaat Yang Diakonal (Perspektif Baru Dalam Pelayanan Kasih): Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004, h.127.
[4] http://www.kepraya.org/gereja-dan-pemberdayaan-sosial-ekonomi-masyarakat/
[5] Emmanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat: Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 2007, h.88-102.
[6] A Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja: Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, h.2-4
[7] Jump to navigation Jump to search  band. https://hesron89.wordpress.com/2013/05/03/gereja-dan-diakonia/
[8] Loc. Cit.


0 komentar:

Posting Komentar