Senin, 25 November 2019

MENGOLAH POTENSI DIRI, MEMBANGUN KEMAMPUAN (Matius 25:14-30)





PENDAHULUAN

Muncul pertanyaan: ”Apakah kita sudah berbenah?” Jawabnya adalah: “Sudah!” Apakah kita sudah “membangun diri?” Jawabnya: “Sudah!” Hanya persoalannya adalah tidak berhenti pada sudah, melainkan bahwa  berbenah dan membangun haruslah senantiasa diupayakan. Berbenah dalam arti melakukan evaluasi, introspeksi dan koreksi diri. Membangun yaitu mencari solusi bagi pembenahan itu sehingga dapat mencapai kemajuan, perkembangan dan pertumbuhannya.
Sekarang kita sudah memasuki tahun kedua dari tema lima tahun kedua “Mengembangkan Semangat Misioner dalam Menanggapi Karya Penyelamatan Allah” (2011-2015). Mengembangkan Semangat Misioner dalam Menanggapi Karya Penyelamatan Allah dikandung maksud bahwa setiap jemaat harus terpanggil dalam keterlibatannya melalui praksis pelayanan agar karya penyelamatan Allah dapat tersiar dan dirasakan setiap umat.
Setiap jemaat harus terlibat dalam panggilan pelayanan melalui talenta masing-masing. Itulah semangat misioner yaitu bahwa setiap gereja/jemaat yang bersaksi harus tercermin disetiap jemaat. Sehingga tidak ada jemaat yang masa bodoh, acuh tak acuh.
Semangat misioner ini akan menemukan dirinya melalui peran aktif masing-masing Komisi, baik Komisi Kategorial, Fungsional, Forum, Tim. Sehingga tidak dijumpai akan adanya yang ”mandeg” (Jawa). Semangat misioner akan lebih berkembang dan dapat dirasakan dengan adanya  bebadan-bebadan (=lembaga) lainnya seperti : Koperasi,  Pemberdayaan Ekonomi Jemaat diperluas kepada masyarakat,dll. Itulah bebandan-bebadan yang perlu dipersiapkan melengkapi bebadan dalam gerejawi.
Dalam hal ini samangat misioner yang bisa diartikan sebagai Pewartaan Injil (PI) bukan untuk tujuan kristenisasi melainkan agar kasih dan anugerah Allah bisa dirasakan oleh setiap umat. Oleh karena itu setiap jemaat dan semua perangkat sudah harus siap memasuki tema dimaksud.

DASAR TEMA

1.        Situasi dan Kondisi

Andar Ismail tokok Teologi PAK mengkritik kita semua dalam tulisannya demikian:[1]
“Dalam pelayanan gereja sering kali terjadi yang aneh-aneh. Ada guru Sekolah Minggu yang “cuti panjang” alias tidak muncul selama beberapa bulan. Ada anggota koor yang jarang ikut latihan, namun ketika koor itu menyanyi di gereja tiba-tiba ia muncul. Ada Penaatua yang “hilang dari peredaran” alias diam-diam menjadi non aktif. Ada pihak-pihak yang suka memaksakan keinginan, sehingga dalam rapat terjadi gontok-gontokan. Ada pula yang ngambek dan mengundurkan diri ketika usulnya tidak diterima. Ketika ada sejumlah pekerjaan yang perlu dikerjakan bersama, kebanyakan orang berkerumun di “seksi enak”. Untuk “seksi repot” atau “seksi capek” orang berkata” “Maaf, jangan saya.” Ada sebuah keputusan yang sudah disepakati oleh rapat, namun sudah tiga bulan belum terlaksana sebab orang yang bersangkutan jarang hadir di rapat. Kejadian-kejadian itu menunjukkan adanya perasaantidak terikat pada suatu komitmen. Rupanya di sini terletak akar persoalannya dalam pelayanan yaitu kurang rasa tanggung jawab, kurang dedikasi dan kurang komitmen.”
Mungkin juga bisa ditambah karena merasa tidak mampu atau karena tidak ada waktu. Singkatnya segudang alasan bisa diajukan guna menghindari tugas pelayanan. Itulah yang menjadi penyebab adanya tubuh “organisme” yang sakit dan menjadi kendala bagi berfungsinya tubuh “organisme” lainnya. 
Mengolah Potensi Diri, membangun Kemampuan. Muncul pergumulan kita, apakah kita mempunyai potensi ? Bagaimana kita bertanggung jawab terhadap potensi tersebut ?

2.        Nats: Matius 25:14-30

a.      Tentang Potensi

Guna menjawab pergumulan tema kita tentang potensi, maka kita akan memakai dasar nats kita dari Matius 25:14-30 tentang Perumpamaan Talenta yang Tuhan Yesus ajarkan kepada para murid dan kita semua. Dalam Perjanjian Lama talenta adalah satuan ukuran berat sekitar 34 kg (Kel 25:39). Sedangkan dalam Perjanjian Baru diartikan sebagai sejumlah besar uang, lebih dari upah rata-rata seorang buruh biasa selama 19 tahun (Mat 18:24).[2]  Daniel J Harrington menerjemahkan talenta sebagai bakat alam yang dapat dikembangkan dengan praktek yang tekun. Oleh karenanya harus dipertanggungjawabkan dengan cara kesediaan terus-menerus menuntut tindakan yang menghasilkan buah yaitu mengolah talenta tersebut agar berfungsi dan bermanfaat.[3]
Jadi pemahaman berat atau uang menunjuk kepada pengertian kemampuan atau bakat alam karunia Tuhan. Pemahaman itulah yang kita artikan dengan potensi. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah setiap manusia dikaruniai potensi tersebut?  Jawabnya yang pasti adalah ya, dengan akal budinya. Itulah kemampuan dasar yang Allah karuniakan sebagai modal hidup manusia didunia ini. 

b.     Tanggung jawab Pengembangan Potensi

Tiga orang dengan talenta yang berbeda menggambarkan bahwa: 1) Setiap orang mempunyai talenta atau bakat kemampuan atau potensinya masing-masing, 2) Talenta atau bakat kemampuan atau potensi itu berbeda kapasitasnya antara satu dengan yang lainnya. Bukan berarti Allah membeda-bedakan. Perbedaan itu terjadi oleh karena cara kita manusia di dalam mengolah dan mengembangkannya. 3)   Talenta atau bakat kemampuan atau potensi yang Allah karuniakan kepada kita manusia harus dipertanggungjawabkan dengan cara dikelola dan dikembangkan masing-masing menurut kesanggupannya.
Andar Ismail memberikan pemahaman sebagai berikut:[4] dari ketiga orang tersebut, setelah diminta pertanggungjawaban, hanya dua orang yang bertanggung jawab menggandakan dan mengembangkan talentanya. Satu orang tidak melakukannya. Kepada ke dua orang yang bertanggung jawab itu, Majikan yang adalah Allah mengatakan: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.” Kepada orang yang tidak bertanggung jawab,  Majikan itu berkata: “Hai kamu hamba yang jahat dan malas ....”Sekilas, perumpamaan itu memberi penekanan bahwa yang menjadi ukuran adalah hasil: lima, dua dan nol. Namun sebenarnya bukan itu yang menjadi penekanannya.
Yang menjadi penekanan dalam perumpamaan ini adalah sikap dan tanggung jawab terhadap tugas. Hamba pertama dan kedua dipuji bukan karena hasil yang diperoleh, melainkan karena komitmen terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Majikan tidak berkata: “Hai hambaku yang berhasil,” melainkan ia berkata: “Hai hambaku yang baik dan setia, ...” Kepada hamba ketiga, ia tidak berkata: “Hamba yang gagal, “ melainkan “Hamba yang jahat dan malas.”
Sikap yang dipuji adalah sikap yang setia dan bertanggung jawab terhadap tugas pelayanan yang diembankannya yaitu bijaksana dalam mengatur tugas pelayanan, bertanggung jawab terhadap tugas pelayanan,  rajin dalam menjalankan tugas pelayanan, waspada dalam melaksanakan tugas pelayanan serta rela berlelah dalam menyelesaikan tugas pelayanan.
Sikap yang dicela adalah sikap kerja yang asal-asalan, yang dilakukan dengan setengah hati, yang kurang sungguh, yang tidak berencana, yang kurang dipersiapkan, yang kurang cermat dan yang berhenti ditengah jalan.

c.     Ukuran Tugas Pelayanan

Ukuran utama yang dipakai Tuhan Yesus  dalam menilai suatu tugas pelayanan adalah bukan produk, melainkan proses. Inilah yang dinamakan dengan pendekatan orientasi pada proses dan bukan pendekatan orientasi pada produk. Dalam proses tugas pelayanan membutuhkan komitmen tanggung jawab dan kesetiaan terhadap tugas.
Oleh karenanya, suatu kegagalan bukan merupakan kesalahan. Yang salah adalah sikap yang tidak setia dan tidak bertanggung jawab. Yang terpenting adalah sudah ada usaha untuk memulai melakukan dan bekerja dalam pelayanan ke arah visi dan misi. Ukuran pelayanan bukan hasil, melainkan kesetiaan, ketekunan, kesungguhan, kegembiraan, kerelaan dan kejujuran kita dalam melayani.
Jikalau terdapat Majelis atau pengurus Komisi, Forum, Tim atau Panitia tidak aktif dan tidak berfungsi alias “mandeg” itu berarti bahwa semangat  kesetiaan, ketekunan, kesungguhan, kegembiraan, kerelaan dan kejujuran dalam melayani sudah pergi jauh.

d.      Talenta Diambil

Ay. 28 “ Sebab itu ambilah talenta itu dari padanya ....” Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa jikalau talenta ---yang adalah bakat kemampuan atau potensi--- tidak dikembangkan untuk dipertanggungjawabkan, maka akan diambil dan diberikan kepada yang bisa mengembangkannya.
Betapa celakanya kita apabila talenta yang ada pada diri kita Dia ambil gara-gara kita tidak bertanggung jawab untuk mengembangkannya. Pengambilan talenta akan memperburuk keadaan baik pada diri sendiri maupun komunitas. Tambah hari tambah parah, jikalau tidak segera dilakukan upaya tindakan pencegahan dengan cara pertobatan untuk mau memulai aktifitas tanggung jawab dalam pelayanan.  

PEMAHAMAN TEMA

1.     Pengertian Tema

Tema Mengolah Potensi Diri, Membangun Kemampuan. Tema ini memacu dan memotifasi kita  ---jemaat GKJ Demak---  untuk memahami dan mengerti bahwa setiap manusia dikaruniai potensi atau kemampuan atau talenta sejak dari kandungan ibu. Ketika manusia itu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangannya, mereka harus mengolah (=menggunakan) potensi itu agar bisa hidup dan menyikapi kehidupan.
Upaya mengembangkan potensi diri melalui pengetahuan yang dilengkapi dengan ketrampilan maupun melalui upaya-upaya lain yang bermanfaat bagi pengembangan potensi itusendiri, itu berarti kita sedang membangun kemampuan yaitu kemampuan diri. Membangun kemampuan harus dilakukan agar dapat berkembang dan melipatgandakan potensi yang ada pada diri seseorang itu.

2.     Arah  Tema

Dalam kaitannya dengan tugas pelayanan gereja baik di aras Majelis maupun Komisi-komisi, Forum, Tim, panitia mempunyai tanggung jawab yang sama yaitu mengembangkan potensi sesuai talenta masing-masing dalam wujud peran ambil bagian secara aktif setiap warga jemaat untuk berkiprah dalam praksis pelayanan.
Memahami nats kita di atas, maka tidak ada alasan untuk berdalih bahwa “Saya tidak bisa” atau “Saya tidak mampu” atau “Saya bodoh.” Semuanya mempunyai potensinya masing-masing dan harus dikembangkan sesuai talenta yang dimilikinya. Talenta atau kemampuan atau potensi itu akan berkembang dan bermanfaat ketika kita mau dan bersedia terlibat secara langsung dalam aktifitas pelayanan.
Itulah “organisme” yang sehat yaitu “organisme” yang setiap bagian-bagiannya dapat menjalankan fungsi tanggungjawabnya sesuai dengan bagian tugasnya masing-masing. Harapan yang terkandung, ditahun ini tidak ada Komisi atau Forum atau Tim atau Panitia yang “sakit” karena tidak berfungsi.     

IKLIM POSITIF DALAM PELAYANAN[5]

1.     Sebuah Situasi dan Kondisi

Memahami kondisi adanya Komisi atau Forum atau Tim atau Panitia yang tidak bisa berfungsi sebagai organisme yang hidup, maka perlu dicarikan penyebabnya. Bisa jadi penyebabnya masalah waktu karena kesibukan, berada di luar kota karena kuliah atau kerja. Usul pendapatnya tidak pernah diterima dan dihargai dengan baik. Itu juga bisa menjadi salah satu faktornya. Mereka dijadikan sebagai obyek sasaran dari program dan bukan subyek. Namun juga bisa terjadi karena penolakan secara halus dengan cara tidak mau hadir rapat dan tidak mau kerja berpelayanan. Seribu macam banyak hal penyebabnya. Memahami hal tersebut, setidaknya perlu dicarikan salah satu solusi penanganannya. Salah satu solusi tersebut adalah masalah iklim pelayanan.

2.     Iklim Positif

Iklim yang baik atau positif  akan membawa seseorang dengan senang hati ikut terlibat berpartisipasi secara aktif dan efektif. Iklim positif yang dapat diciptakan dalam tugas pelayanan tersebut akan membawa suasana komunikasi lebih terbuka, lebih jujur. Mereka yang terlibat akan lebih rela untuk saling melayani, saling membantu dalam kesulitan pelaksanaan tugas pelayanan, lebih mudah untuk saling memberi informasi penting dan bersama saling mengevaluasi kekurangan. Hal tersebut akan sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas karya pelayanan.
Contoh realistis terjadi pada jemaat mula-mula (Kis 2:41-47 ; 4:32-37). Sikap saling mencintai, menghormati dan menghargai terbentuk dalam iklim positif di jemaat mula-mula. Sehingga kebersamaan sebagai ciri kehidupan bersama relligius benar-benar tercipta dan terbangun di dalam tubuh jemaat tersebut. Kondisi tersebut sangat efektif bagi penjabaran kesaksian masyarakat, sehingga dengan sendirinya masyarakat tertarik oleh karena iklim positif yang tercipta, sehingga membuat mereka mengambil keputusan untuk bergabung.

3.     Anggota “Biasa”

Prinsip yang berlaku bahwa semua orang dalam organisasi harus diperlakukan secara serius, artinya bahwa keinginan, pengalaman dan kemampuan mereka harus diperlakukan dengan respek.
Yang dimaksud dengan anggota “biasa” adalah mereka yang menjalankan tugas pelayanannya, anggota jemaat yang mendapat kepercayaan menduduki dalam suatu kepengurusan. Anggota biasa ini harus diterima dan dihargai kehadiranya, sumbang pikir dan kemampuan mereka. Oleh karena itu anggota “biasa” harus dijadikan sebagai Subjek. Dalam arti bahwa mereka harus dilibatkan dan ikut mengambil keputusan serta berpartisipasi secara aktif dan efektif.
Jikalau iklim positif ini terwujud dalam sebuah organisasi, demikian pula di gereja dengan “organismenya,” saya percaya sudah tidak ada yang merasa paling pintar, paling bisa, paling hebat. Tidak ada yang suka merendahkan, suka menyalahkan dan suka memojokkan. Semua saling menghormati dan menghargai. Yang Sarjana akan menghormati dan menghargai yang lulusan SD. Yang lulusan SD tidak ada yang merasa minder dan bodoh. Semuanya berkolabirasi dalam talentanya masing-masing. Membangun kemampuan masing-masing.

SASARAN TEMA

Sasaran tema “Mengolah Potensi Diri, Membangun Kemampuan,” yang menjadi penekanan adalah semangat keterlibatan dari setiap warga jemaat dalam kiprah pelayanan melalui potensi masing-masing yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap Komisi, Forum, Tim ataupun Panitia dengan potensinya masing-masing harus nampak kiprahnya dalam berprogram, bekerja dan berpelayanan. 


[1]  Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan (33 Renungan Tentang Pelayanan), Jakarta: BK Gunung Mulia, 2001, 73-74. 
[2]  W.N.McELRATH dan BILLY MATHIAS, Ensiklopesia Alkitab Praktis (Edisi Kedua), Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1986, h. 139
[3]  Dianne Bergant dan Robert J Karris (Ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 71
[4]   Andar Ismail, Selamat melayani Tuhan (33 Renungan Tentang Pelayanan),  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, h.97-99
[5]  Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik (Membangun Jemaat Dengan Menggunakan Metode Lima Faktor), Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 48-55

0 komentar:

Posting Komentar