1. Pengertian
Mantap Melangkah di dalam Kuasa Allah.
Pemahaman tersebut dapat diterangkan sebagai berikut: Kata mantap adalah Tetap hati, kukuh, kuat,
tidak berubah, tidak goyah, stabil.[1] Sedangkan kata melangkah adalah bertindak, berjalan,
bekerja.[2] Jadi mantap
melangkah adalah keteguhan hati, ketetapan hati, kukuh, kuat, tidak berubah,
tidak goyah untuk bertindak, berjalan dan bekerja. Sifatnya stabil.
Jikalau dikenakan pada organisasi gerejawi, meliputi Komisi, Forum, Tim maupun
lembaga-lembaga gerejawi lainnya adalah sebuah organisasi yang mempunyai keteguhan dan ketetapan hati, kukuh, kuat,
tidak berubah, tidak goyah untuk bertindak, berjalan dan bekerja. Sifatnya
stabil. Sebuah organisasi yang mampu bertumbuh dan berkembang, menghidupi
“anggotanya”. Itulah makna dari istilah tema mantap melangkah.
Mantap melangkah di dalam kuasa Allah. Itulah kelengkapan tema tersebut.
Penjelasannya demikian: Kata di dalam
berarti berada atau bersama dengan, atau bersama-sama. Kalau kita berjalan di
dalam itu berarti kita berjalan berada atau bersama dengan seseorang yang
sedang berjalan dengan kita. Kata kuasa
Allah artinya bahwa kuasa berasal dari Allah yaitu kuasa yang melindungi,
kuasa yang membebaskan, kuasa yang menyelamatkan. Kakikat dari kuasa Allah
adalah kuasa yang menolong dan membebaskan (=menyelamatkan).[3]
Jadi pemahaman tema Mantap Melangkah di dalam Kuasa Allah adalah keteguhan
hati, ketetapan hati, kukuh, kuat, tidak berubah, tidak goyah untuk bertindak,
berjalan dan bekerja dengan stabil di dalam perlindungan, kuasa dan
penyelamatan Allah. Jikalau pemahaman tersebut dihayati dengan benar maka tidak
akan dijumpai adanya “kemandegan” (Jawa), sebaliknya yang terjadi adalah
pertumbuhan dan perkembangan yang sehat ditubuh gerejaNya.
2. Arah Tema : Top-Down atau Bottom-Up
Saya sangat memperhatikan tulisan dosen saya Pdt. Prof. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D demikian:
“Pada masa kini sistem presbyterial
sudah merosot menjadi sekadar nama saja. Akibatnya keputusan-keputusan dilaksanakan
secara top-down mulai dari keputusan Sinode, Klasis sampai ke gereja-gereja.
Manajemen top-down ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa jemaat adalah
domba-domba yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa berteologi. Asumsi ini
menyebabkan tidak sedikit jemaat yang kritis mencari pelarian pada
kelompok-kelompok (=gereja) yang dipandang tidak ketat hirarkinya. Orang-orang
ini akhirnya disingkirkan dengan dalih mengikuti aliran lain. Tidak jarang pula
aliran teologi yang lain dicap sebagai “sesat”. Sudah waktunya kita mengganti
asumsi yang lama ini dengan asumsi lain yang lebih realistis dan lebih sehat:
jemaat tidak bodoh. Mereka bisa berteologi. Kita semua adalah domba dari
Kristus dan kita semua adalah kawan sekerja Allah, subyek pelaku-pelaku firman.
Oleh karena itu biarlah jemaat menentukan masa depannya. Keputusan-keputusan kiranya
dapat berjalan secara bottom-up. Baru kita bisa yakin bahwa gereja Tuhan dapat
diantar memasuki abad 21.”[4]
Itulah pandangannya tentang
masa depan gereja. Gereja dapat berkembang atau tidak unsur penentu salah
satunya adalah peran aktif dari setiap jemaat yang adalah “gembala” atau
“subyek” pelaku. Sebagai pelaku memang harus aktif, kreatif serta inovatif
membawa gereja bertumbuh dan berkembang. Apa yang menjadi kebutuhan, keinginan
dan kemauan jemaat sebagai arus bawa
(=bottom-up) harus menjadi perhatian Majelis, kalau memang kita ingin
menegakkan sistem Presbyterial. Pemahaman tersebut bisa terwujud atau tidak
juga dibutuhkan niat serta minat yang aktif; kreatif serta inovatif dari jemaat
itu sendiri sebagai “gembala” atau pelaku (=subyek).
Menurut saya top-down dalam organisasi gereja memang tetap diperlukan guna
menentukan arah dan tujuan dari visi-misi gereja agar tidak berbelok arah. Oleh
karena itu harus dipertemukan antara top-down dengan bottom-up. Top-down
diperlukan guna memberi arah dan tujuan dari visi-misi agar tidak melenceng,
sedangkan bottom-up diperlukan untuk memberi gerak dan kreatifitas bagi jemaat
di dalam menindaklanjuti keputusan-keputusan melalui program-program pelayanan.
Pelaksanaan program harus dikemas secara aktif, kreatif dan inovatif
disesuaikan kebutuhan dan atau keinginan jemaat itu sendiri.
George Barna menginspirasi kita mengenai gereja masa depan yaitu gereja
yang dicari dan yang diminati jemaat. Ia menekankan bahwa gereja harus dikelola
seumpama dunia bisnis yang berorientasi pada pemasaran. Pamasaran adalah suatu
proses dan melalui proses inilah kita berusaha untuk menerapkan produk-produk
yang sesuai dengan keinginan pembeli yang menjadi sasaran kita. Sehingga yang
menjadi pusat perhatian dan sasarannya adalah manusia (=jemaat). Sedangkan
untuk produk (=program-program layanan) sebagai alat/saranan yang dipakai untuk
melayani. Dalam pemasaran ini apa yang disebut dengan keberhasilan ? yang
diartikan dengan keberhasilan adalah jikalau gereja dapat menolong (=melayani)
jemaat/segenap umat dapat bertumbuh dan berkembang di dalam hubungannya dengan
Kristus.[5]
Disisi lain Yunus Ciptawilangga dan Matius Heryanto memberikan kelengkapan
pemahaman bagi kita bahwa disadari atau
tidak, diakui atau tidak, gereja hidup dalam “persaingan.” Ia mengibaratkan
gereja ibarat lomba memancing. Ikan sedikit diperebutkan banyak orang. Agar memperoleh banyak ikan, tidak cukup
hanya memiliki kail dan umpan saja melainkan harus dilengkapi dengan
pengetahuan dan ketrampilan memancing, teknik melempar dan menarik kail,
pengetahuan tentang sifat-sifat ikan, pengetahuan tentang umpan yang disukai
ikan, dll.[6]
Memahami hal-hal tersebut, memang kita harus mulai terbuka dan mengkaji
ulang hal-hal yang harus kita lakukan untuk suatu kemantapan langkah. Harus ada
pembenahan konsep pikir memadukan prinsip Top-Down dengan Bottom-Up dengan
melihat gejolak “pasar” (=kondisi jemaat), dengan kesadaran bahwa kita dalam
“persaingan”. Hal-hal apa yang harus kita reformasi ? Menurut C. Peter Wagner
bahwa kita tidak akan mengubah substansi iman kita, namun kita hanya mengubah
cara kita mengemas dan menyajikan sesuai dengan kebutuhan “pasar” yang adalah
jemaat.[7] Itulah
yang harus dilakukan gereja kalau ingin
tetap eksis dan memenangkan perlombaan dalam persaingan gereja.
Dari pemaparan tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa :
1.
Gereja harus memberi tempat kepada
jemaat untuk berperan aktif, berkreasi dan berinovatif. Oleh karena itu jemaat
harus menyadari bahwa keberadaan dan peran aktifnya sangatlah diharapkan untuk
bersama berpelayanan. Gereja harus memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan
jemaat demi eksistesi kehidupan bergereja itu sendiri.
2.
Gereja harus menyadari kondisinya dalam
“persaingan” dengan gereja-gereja lainnya. Hal
tersebut terbukti dari kegemaran jemaat yang suka berpindah gereja.
Mereka mencari “menu makanan” yang sesuai dengan selera. Untuk itu sudah
saatnya gereja mencari dan menghidangkan menu makanan yang menjadi
seleranya.
3.
Menyadari dan memahami kondisinya dalam
persaingan, maka gereja harus belajar dan terus belajar meningkatkan kualitas
demi memenangkan “persaingan” itu.
4.
Kita bisa menang dalam “persaingan”
apabila melakukan tugas panggilan secara bersama (=kolaborasi iman) antara
Majelis dengan segenap jemaat. Saling mendukung dan saling menopang satu dengan
yang lainnya. Kompak dan bersemangat.
[1] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesai,
Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 713
[2] Ibid., h. 635
[3] JL.Ch. Abineno, Apa Kata
Alkitab ? Tentang Kuasa, Jilid II, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981, h. 68-71
[4] Em. Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat,
Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2007,
h. 174-175
[5] George Barna, Memasarkan Gereja (Apa yang Tidak Pernah
Diajarkan Mengenai Pertumbuhan Gereja), Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
1993, h. 13-14
[6] Yunus
Ciptawilangga dan Matius Heryanto, Menang
Dalam Persaingan Gereja, Jakarta: Metanoia Publishing, 2003, h.xviii-xx.
[7] C Peter Wagner, Gempa Gereja, Jakarta: Nafiri Gabriel,
2000, h. 35






0 komentar:
Posting Komentar