Senin, 25 November 2019

MANTAP MELANGKAH DI DALAM KUASA ALLAH



1.    Pengertian

Mantap Melangkah di dalam Kuasa Allah.  Pemahaman tersebut dapat diterangkan sebagai berikut: Kata mantap adalah Tetap hati, kukuh, kuat, tidak berubah, tidak goyah, stabil.[1] Sedangkan kata melangkah adalah bertindak, berjalan, bekerja.[2] Jadi mantap melangkah adalah keteguhan hati, ketetapan hati, kukuh, kuat, tidak berubah, tidak goyah untuk bertindak, berjalan dan bekerja. Sifatnya stabil.
Jikalau dikenakan pada organisasi gerejawi, meliputi Komisi, Forum, Tim maupun lembaga-lembaga gerejawi lainnya adalah sebuah organisasi yang mempunyai  keteguhan dan ketetapan hati, kukuh, kuat, tidak berubah, tidak goyah untuk bertindak, berjalan dan bekerja. Sifatnya stabil. Sebuah organisasi yang mampu bertumbuh dan berkembang, menghidupi “anggotanya”. Itulah makna dari istilah tema mantap melangkah.
Mantap melangkah di dalam kuasa Allah. Itulah kelengkapan tema tersebut. Penjelasannya demikian: Kata di dalam berarti berada atau bersama dengan, atau bersama-sama. Kalau kita berjalan di dalam itu berarti kita berjalan berada atau bersama dengan seseorang yang sedang berjalan dengan kita. Kata kuasa Allah artinya bahwa kuasa berasal dari Allah yaitu kuasa yang melindungi, kuasa yang membebaskan, kuasa yang menyelamatkan. Kakikat dari kuasa Allah adalah kuasa yang menolong dan membebaskan (=menyelamatkan).[3]
Jadi pemahaman tema Mantap Melangkah di dalam Kuasa Allah adalah keteguhan hati, ketetapan hati, kukuh, kuat, tidak berubah, tidak goyah untuk bertindak, berjalan dan bekerja dengan stabil di dalam perlindungan, kuasa dan penyelamatan Allah. Jikalau pemahaman tersebut dihayati dengan benar maka tidak akan dijumpai adanya “kemandegan” (Jawa), sebaliknya yang terjadi adalah pertumbuhan dan perkembangan yang sehat ditubuh gerejaNya.

2.    Arah Tema : Top-Down atau Bottom-Up

Saya sangat memperhatikan tulisan dosen saya Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D demikian:
“Pada masa kini sistem presbyterial sudah merosot menjadi sekadar nama saja. Akibatnya keputusan-keputusan dilaksanakan secara top-down mulai dari keputusan Sinode, Klasis sampai ke gereja-gereja. Manajemen top-down ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa jemaat adalah domba-domba yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa berteologi. Asumsi ini menyebabkan tidak sedikit jemaat yang kritis mencari pelarian pada kelompok-kelompok (=gereja) yang dipandang tidak ketat hirarkinya. Orang-orang ini akhirnya disingkirkan dengan dalih mengikuti aliran lain. Tidak jarang pula aliran teologi yang lain dicap sebagai “sesat”. Sudah waktunya kita mengganti asumsi yang lama ini dengan asumsi lain yang lebih realistis dan lebih sehat: jemaat tidak bodoh. Mereka bisa berteologi. Kita semua adalah domba dari Kristus dan kita semua adalah kawan sekerja Allah, subyek pelaku-pelaku firman. Oleh karena itu biarlah jemaat menentukan masa depannya. Keputusan-keputusan kiranya dapat berjalan secara bottom-up. Baru kita bisa yakin bahwa gereja Tuhan dapat diantar memasuki abad 21.”[4]
      Itulah pandangannya tentang masa depan gereja. Gereja dapat berkembang atau tidak unsur penentu salah satunya adalah peran aktif dari setiap jemaat yang adalah “gembala” atau “subyek” pelaku. Sebagai pelaku memang harus aktif, kreatif serta inovatif membawa gereja bertumbuh dan berkembang. Apa yang menjadi kebutuhan, keinginan dan kemauan jemaat  sebagai arus bawa (=bottom-up) harus menjadi perhatian Majelis, kalau memang kita ingin menegakkan sistem Presbyterial. Pemahaman tersebut bisa terwujud atau tidak juga dibutuhkan niat serta minat yang aktif; kreatif serta inovatif dari jemaat itu sendiri sebagai “gembala” atau pelaku (=subyek).
Menurut saya top-down dalam organisasi gereja memang tetap diperlukan guna menentukan arah dan tujuan dari visi-misi gereja agar tidak berbelok arah. Oleh karena itu harus dipertemukan antara top-down dengan bottom-up. Top-down diperlukan guna memberi arah dan tujuan dari visi-misi agar tidak melenceng, sedangkan bottom-up diperlukan untuk memberi gerak dan kreatifitas bagi jemaat di dalam menindaklanjuti keputusan-keputusan melalui program-program pelayanan. Pelaksanaan program harus dikemas secara aktif, kreatif dan inovatif disesuaikan kebutuhan dan atau keinginan jemaat itu sendiri.      
George Barna menginspirasi kita mengenai gereja masa depan yaitu gereja yang dicari dan yang diminati jemaat. Ia menekankan bahwa gereja harus dikelola seumpama dunia bisnis yang berorientasi pada pemasaran. Pamasaran adalah suatu proses dan melalui proses inilah kita berusaha untuk menerapkan produk-produk yang sesuai dengan keinginan pembeli yang menjadi sasaran kita. Sehingga yang menjadi pusat perhatian dan sasarannya adalah manusia (=jemaat). Sedangkan untuk produk (=program-program layanan) sebagai alat/saranan yang dipakai untuk melayani. Dalam pemasaran ini apa yang disebut dengan keberhasilan ? yang diartikan dengan keberhasilan adalah jikalau gereja dapat menolong (=melayani) jemaat/segenap umat dapat bertumbuh dan berkembang di dalam hubungannya dengan Kristus.[5]   
Disisi lain Yunus Ciptawilangga dan Matius Heryanto memberikan kelengkapan pemahaman bagi kita  bahwa disadari atau tidak, diakui atau tidak, gereja hidup dalam “persaingan.” Ia mengibaratkan gereja ibarat lomba memancing. Ikan sedikit diperebutkan banyak orang.  Agar memperoleh banyak ikan, tidak cukup hanya memiliki kail dan umpan saja melainkan harus dilengkapi dengan pengetahuan dan ketrampilan memancing, teknik melempar dan menarik kail, pengetahuan tentang sifat-sifat ikan, pengetahuan tentang umpan yang disukai ikan, dll.[6]
Memahami hal-hal tersebut, memang kita harus mulai terbuka dan mengkaji ulang hal-hal yang harus kita lakukan untuk suatu kemantapan langkah. Harus ada pembenahan konsep pikir memadukan prinsip Top-Down dengan Bottom-Up dengan melihat gejolak “pasar” (=kondisi jemaat), dengan kesadaran bahwa kita dalam “persaingan”. Hal-hal apa yang harus kita reformasi ? Menurut C. Peter Wagner bahwa kita tidak akan mengubah substansi iman kita, namun kita hanya mengubah cara kita mengemas dan menyajikan sesuai dengan kebutuhan “pasar” yang adalah jemaat.[7]  Itulah yang  harus dilakukan gereja kalau ingin tetap eksis dan memenangkan perlombaan dalam persaingan gereja.
Dari pemaparan tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa :
1.    Gereja harus memberi tempat kepada jemaat untuk berperan aktif, berkreasi dan berinovatif. Oleh karena itu jemaat harus menyadari bahwa keberadaan dan peran aktifnya sangatlah diharapkan untuk bersama berpelayanan. Gereja harus memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan jemaat demi eksistesi kehidupan bergereja itu sendiri.
2.    Gereja harus menyadari kondisinya dalam “persaingan” dengan gereja-gereja lainnya. Hal  tersebut terbukti dari kegemaran jemaat yang suka berpindah gereja. Mereka mencari “menu makanan” yang sesuai dengan selera. Untuk itu sudah saatnya gereja mencari dan menghidangkan menu makanan yang menjadi seleranya.   
3.    Menyadari dan memahami kondisinya dalam persaingan, maka gereja harus belajar dan terus belajar meningkatkan kualitas demi memenangkan “persaingan” itu.
4.    Kita bisa menang dalam “persaingan” apabila melakukan tugas panggilan secara bersama (=kolaborasi iman) antara Majelis dengan segenap jemaat. Saling mendukung dan saling menopang satu dengan yang lainnya. Kompak dan bersemangat.



[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesai, Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005,  h. 713
[2] Ibid., h. 635
[3] JL.Ch. Abineno, Apa Kata Alkitab ? Tentang Kuasa, Jilid II, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981, h. 68-71
[4]  Em. Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, Yogyakarta: Taman   Pustaka Kristen, 2007, h. 174-175
[5]  George Barna, Memasarkan Gereja (Apa yang Tidak Pernah Diajarkan Mengenai Pertumbuhan Gereja), Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1993,  h. 13-14
[6]    Yunus Ciptawilangga dan Matius Heryanto, Menang Dalam Persaingan Gereja, Jakarta: Metanoia Publishing, 2003, h.xviii-xx.
[7]  C Peter Wagner, Gempa Gereja, Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000, h. 35

0 komentar:

Posting Komentar