Senin, 25 November 2019

MEMBANGUN DALAM KEBERSAMAAN (Efesus 4:1-16)


A. PENDAHULUAN
Kata membangun berarti membina dan bersifat memperbaiki[1]. Sedangkan kata kebersamaan berarti  serentak melakukan kewajiban, tekat untuk bersama-sama  --bukan sendirian--  untuk mewujudkan kewajiban[2]. Kata membangun dan kebersamaan tidak terlepas berdiri sendiri, melainkan dihubungkan dengan kata dalam yang berarti bahwa pembenahan dan perbaikan menuju kemajuan harus dilakukan secara bersama-sama dengan selalu mengupayakan perbaikan dan  peningkatan pelayanan menuju pertumbuhan dan perkembangan yang berarti dan bukan rutinitas yang monoton, apalagi jalan ditempat yang tanpa disadari jalan mundur.  
Seorang arsitek adalah seorang yang ahli dalam merancang gambar bangunan suatu rumah  lengkap dengan ukuran dan dana yang dibutuhkan. Ia mencoba untuk berusaha membangun rumah dengan tenaganya sendiri seorang diri. Mulai dari membeli material sampai memulai pengerjaannya. Baru  menggali dan akan  memasang pondasi batu kali,  ia kebingungan  bagaimana harus memulainya.  Akhirnya dia berhenti dan menyerahkannya kepada tukang batu yang hanya lulusan SD dan dalam waktu tiga hari pondasi sudah selesai dengan kerangka besi yang tertanam kuat tegak keatas. Dari ilustrasi di atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan, al:
1.    Diakui atau tidak, ternyata bahwa seorang arsitek yang pakar membuat gambar, denah beserta ukuran dan anggarannya, belum tentu mampu menyusun batu/bata seperti seorang tukang batu yang hanya lulusan SD. Dengan demikian seorang dokter spesialis ahli bedah belum tentu menguasai teknik mesin. Seorang Insinyur mesin belum tentu mampu menguasai ilmu hukum, dst. (Tidak dikandung maksud meremehkan).
2.    Saling menghormati dan menghargai. Memandang orang lain lebih berarti dari diri sendiri dan mengakui bahwa diri sendiri tidak akan berarti tanpa bantuan ahli lain, merupakan salah satu modal dasar dalam hendak mewujudkan cita-cita bersama.
3.    Dalam rangka terwujudnya cita-cita bersama itu harus ada keterlibatan dan tanggung jawab dari masing-masing karunia/talenta bermacam-macam yang ada.  

B. PEMAKNAAN AYAT

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menekankan  secara khusus kesatuan jemaat Efesus sebagai modal dasar dalam mewujudkan  pembangunan jemaat di Efesus.
Tubuh manusia sebagai gambaran kesatuan jemaat. Setiap anggota tubuh berbeda, namun bukan untuk saling bersaing dan menjatuhkan, melainkan untuk saling  membutuhkan,  bekerja  sama,  bahu  membahu  satu  dengan  yang lainnya.
Untuk memelihara kesatuan itu dibutuhkan enam sifat dasar yang harus dimiliki jemaat Tuhan yaitu rendah hati, lemah lembut, sabar, kasih, berusaha memelihara kesatuan roh dan mengusahakan kondisi damai sejahtera.  Kesatuan itu harus diupayakan oleh jemaat Tuhan, karena pada dasarnya kita mempunyai dogma  yang satu, roh, pengharapan, Tuhan, iman, baptisan, Allah dan Bapa yang satu. Pemahaman dogma yang satu itu harus menjadi dasar terwujudnya kesatuan jemaat Tuhan.
Namun dalam rangka mewujudkan kesatuan dalam kiprah pelayanan itu, Paulus mengingatkan kepada jemaatnya itu, bahwa dalam mewujudkan pembangunan jemaat dibutuhkan karunia-karunia dan talenta dari masing-masing jemaat. Melalui karunia dan talenta itu, mereka akan bisa dan mampu mengemban misi agung “..menjadi satu dengan Kristus sebagai kepala”. Karunia itu adalah alat untuk membangun dan mempersatukan serta mencapai tujuan. Apabila di dalam mempergunakan karunia itu tidak di dasarkan kasih, maka akan menjadi senjata untuk berperang seperti jemaat di Korintus (I Kor 1:1-17 ; 3:1-9 band. 12:1-12).
Sepeda motor untuk dapat mencapai tujuan harus bergerak maju dengan arah sasaran yang benar. Bukan berjalan ditempat dan bukan berjalan mundur. Apa lagi diam ditempat. Itulah sebenarnya yang harus menjadi semangat, harapan dan kerja kiprah gereja ---bukan berarti selama ini tidak mempunyai semangat itu--- berjalan maju dengan arah sasaran yang benar. Walaupun tidak perlu tancap gas dengan cepat. Pelan tapi pasti dan bukan merambat menuju sasaran ke depan.
Untuk itu dibutuhkan keterlibatan peran aktif dari semua warga jemaat mela lui karunia dan talentanya masing-masing sebagai wujud luapan syukur atas rahmat dan berkatNya yang senantiasa kita rasakan. Keiklasan kita berkiprah dalam praksis pelayanan dapat diwujudkan melalui keterlibatan semua warga jemaat yang menghayati akan tugas dan panggilannya.  
Hal yang kedua, Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D, dalam bukunya Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat[3] menerangkan adanya banyak kesalahpahaman tentang makna dan fungsi gereja. Dunia Kekristenan sangat lekat dengan istilah ‘melayani’. Namun dalam realitasnya, pelayanan yang dilakukan adalah hanya dalam pemahaman ritual saja’ yatiu dibatasi hanya dalam ibadah dan upacara-upacara agama. Padahal dalam warisan tradisi iman yaitu dalam Alkitab PL maupun PB pelayanan itu mencakup baik segi ritual maupun tindakan etis.
Ia menegaskan pemakaian kata abodah dalam bahasa Ibrani yang berarti kebaktian/ibadah atau kerja. Demikian pula kata Leitourgein yang berarti kebaktian/ibadah maupun pelayanan diakonia kepada orang-orang miskin. Itu berarti bahwa kebaktian/ibadah tidak boleh hanya dibatasi pada ritual (kebaktian dan upacara-upacara agamawi saja), melainkan lebih dari pada itu adalah harus menuju kepada tindakan nyata yaitu pelayanan kepada masyarakat luas. Tembok gereja kita yang tebal, besar dan tinggi harus di ‘robohkan’ sehingga gereja bisa melihat dan merasakan bahkan lebih dari itu bisa ikut mengulurkan tangannya bagi perwujudan yang berpihak kepada kaum miskin (baik warga jemaat maupun masyarakat).  Kalau atau selama pelayanan dianggap hanya sebagai aspek ritual saja, maka pelayanan gereja tidak akan pernah menjadi pelayanan sosial yang menjangkau masyarakat luas.
EG Singgih melanjutkan pemahamannya bahwa gereja mempunyai tugas dan tanggung jawab yaitu membangun generasi profesional mandiri yang berwawasan sosial  Hal itu dilakukan dalam dual hal pokok: Pertama: Memperluas wawasan pelayanan dari hanya sebagai ritual saja ke suatu pelayanan menyeluruh (holistik)  yang meliputi juga hal-hal etis yaitu dengan membuat kompleks pusat jemaat menjadi sebuah community centre dan bukan sekadar tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan spiritual saja. Inilah sebenarnya gereja yang bisa melibatkan jemaat secara langsung dalam aspek-aspek pelayanan social. Hal-hal yang mungkin bisa dilakukan, misalnya: Pelayanan Kesehatan, membuka Toko Serba Ada  (Koperasi),  Namun juga bisa dilakukan dengan kerja sama dengan instansi lain, seperti: kursus perbengkelan, Komputer, Jahit, Elektronik, dll. Kedua: Memperluas pengertian diakonia sehingga tidak hanya melayani jemaat saja melainkan juga masyarakat.  Gereja harus sudah berpikir pada pengembangan pelayanan Diakonia yang selama ini hanya ditangani oleh Majelis. Agar pelayanan Diakonia dapat semakin lebih maksimal dan dapat semakin dirasakan jemaat, maka memang perlu dikembangkan menjadi Komisi Diakonia sehingga warga juga dapat ikut serta terlibat aktif untuk pengembangan pelayanan. Sehingga bentuk pelayanan tidak hanya pada bea siswa, warga pangrimat maupun tali asih kepada yang sakit saja, melainkan lebih luas dari itu, memberikan bekal skil keterampilan kepada warga jemaat agar bisa hidup mandiri (Diakonia Reformatif). Hal tersebut bisa dilakukan gereja dengan bekerja sama dengan instansi-instansi lain seperti: Perbengkelan, Menjahit, maupun kursus-kursus lainnya yang diminati. Di sini gereja bekerja sama dengan instansi-instansi tersebut dalam hal pemberian dana sampai kursus selesai. Sehingga tidak hanya model Diakonia Karikatif atau belas kasihan saja (memberi ikan) yang selalu ditekankan, melainkan ditingkatkan ke Diakonia Reformatif (memberi kail) bahkan sampai pada Diakonia Transformatif (hak untuk memancing) yaitu gereja menolong warga jemaat/masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan Diakonia Reformatif agar bisa berwiraswasta sendiri (=membuka lapangan pekerjaan). atau setidaknya mereka bisa mencari pekerjaan sendiri.  Diakonia Transformatif juga dapat diwujudkan dalam bentuk: memberi bantuan perlindungan hukum kepada warga jemaat yang sedang bermasalah dengan hukum, Gereja memberikan bantuan pertolongan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), gereja dapat memberikan pertolongan kepada warga gereja yang tertindas, dll.[4]  
Pdt. Dr. Djaka Soetapa dalam tulisannya ‘Dasar Hidup Bersama dalam Kemajemukan Agama’ yang teragkum dalam Buku Keadilan Dalam Kemajemukan[5] mengkisahkan perjumpaan antara Petrus yang adalah murid Yesus dengan Kornelius yang adalah Perwira pasukan Itali (orang Kafir). Pusat dari perjumpaan itu yang terjadi sangat dinamikmelahirkan perkataan Petrus yang angat bermakna untuk hubungan antar agama yaitu: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang’ (10:34).
Sebelum Kornelius bertobat, ada suatu proses yang terjadi dalam diri Petrus yang pada akhirnya melahirkan keyakinan itu, yang sebelumnya Petrus meyakini bahwa anugerah Allah hanya terbatas bagi oarng-orang Yahudi saja. Setapak demi setapak, Petrus meninggalkan keyakinannya yang lama itu.   
Petrus telah diproses oleh Allah melalui peristiwa: Pertama: Petrus tinggal bersama seorang penyamakkulit yang bernama Simon (Kis 9:43, 10:5). Pekerjaan yang dilakukan oleh penyamak kulit adalah pekerjaan yang tidak suci karena ia mengolah tubuh binatang yang sudah mati, sehingga dirinya juga dianggap tidak suci (Bil 19:11-13). Orang Yehudi yang sungguh-sungguh tidak akan tinggal bersama orang najis (penyamak kulit). Kedua: Dalam visi yang diterimanya dirumah penyamak kulit itu, Petrus dipersiapkan Tuhan untuk meninggalkan kebiasaannya yang lama Yahudi yang didalamnya ia hidup. Ketiga: Tamunya yang non Yahudi itu diterimanya dengan baik dan bahkan diajaknya menginap (Kis 10:23). Seorang Yahudi yang sungguh-sungguh tidak pernah akan mau diajak atau mengajak orang yang bukan Yahudi untuk tinggal bersama atau menginap. Keempat: Selanjutnya Petrus mengunjungi Kornelius yang bukan Yahudi dan menyatakan dengan jelas tentang sikap dan keyakinannya (Kis 10:28). Sedikit demi sedikit ‘tombok pemisah’ itu mulai  berguguran dan itulah yang terjadi di dalam Petrus. Kelima: Pada pihak lain Kornelius menjadi bertobat dan oleh kuasa Roh Kudus bersama dengan orang-orang lain dibaptiskan. Petrus juga tinggal beberapa lama dengan orang-orang itu.
Oleh karena adanya perjumpaan, perkunjungan dan menginap mengakibatkan Petrus berkembang dalam keyakinannya. Ia menjadi mengerti bahwa Allah tidak pernah membeda-bedakan orang dalam artian bahwa Allah menginginkan kepada semua umat agar mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hidup. Apa yang dialami Petrus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kehidupan keagamaan ditengah-tengah masyarakat yang majemuk ini.  
Marilah kita bersama bersatu melalui berbagai karunia dan talenta masing-masing untuk mewujudkan visi-misi dengan motto: DEMAK (Dadi Etuk Margining Allah Kaswargan). Jemaat GKJ Demak tertantang untuk bisa merasakan etuk (sumber) berkat keselamatan dan harus bisa menjadi margi (jalan) berkat keselamatan Allah tersebut bagi semua umat manusia.





[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 103.
[2] Ibid., h. 986.
[3]  Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997, h. 91-102
[4]  Buku Panduan Sidang Majelis Terbuka GKJ Demak, Visi-Misi Menjadi Gereja Misioner, h. 6.
[5]  Pdt. Dr Sularso Sopater, dkk (Penyunting), Keadilan Dalam Kemajemukan, Jakarta: PT Sinat Agape Press, 1998, h. 121-122.

0 komentar:

Posting Komentar