A. PENDAHULUAN
Kata membangun berarti membina dan bersifat memperbaiki[1].
Sedangkan kata kebersamaan berarti serentak
melakukan kewajiban, tekat untuk bersama-sama
--bukan sendirian-- untuk
mewujudkan kewajiban[2].
Kata membangun dan kebersamaan tidak terlepas berdiri sendiri, melainkan
dihubungkan dengan kata dalam yang berarti bahwa pembenahan dan perbaikan
menuju kemajuan harus dilakukan secara bersama-sama dengan selalu mengupayakan
perbaikan dan peningkatan pelayanan
menuju pertumbuhan dan perkembangan yang berarti dan bukan rutinitas yang
monoton, apalagi jalan ditempat yang tanpa disadari jalan mundur.
Seorang arsitek adalah seorang yang ahli dalam merancang
gambar bangunan suatu rumah lengkap
dengan ukuran dan dana yang dibutuhkan. Ia mencoba untuk berusaha membangun
rumah dengan tenaganya sendiri seorang diri. Mulai dari membeli material sampai
memulai pengerjaannya. Baru menggali dan
akan memasang pondasi batu kali, ia kebingungan bagaimana harus memulainya. Akhirnya dia berhenti dan menyerahkannya
kepada tukang batu yang hanya lulusan SD dan dalam waktu tiga hari pondasi
sudah selesai dengan kerangka besi yang tertanam kuat tegak keatas. Dari
ilustrasi di atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan, al:
1.
Diakui atau tidak, ternyata bahwa seorang arsitek yang
pakar membuat gambar, denah beserta ukuran dan anggarannya, belum tentu mampu
menyusun batu/bata seperti seorang tukang batu yang hanya lulusan SD. Dengan
demikian seorang dokter spesialis ahli bedah belum tentu menguasai teknik
mesin. Seorang Insinyur mesin belum tentu mampu menguasai ilmu hukum, dst.
(Tidak dikandung maksud meremehkan).
2.
Saling menghormati dan menghargai. Memandang orang lain
lebih berarti dari diri sendiri dan mengakui bahwa diri sendiri tidak akan
berarti tanpa bantuan ahli lain, merupakan salah satu modal dasar dalam hendak
mewujudkan cita-cita bersama.
3.
Dalam rangka terwujudnya cita-cita bersama itu harus ada
keterlibatan dan tanggung jawab dari masing-masing karunia/talenta
bermacam-macam yang ada.
B. PEMAKNAAN AYAT
Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menekankan secara khusus kesatuan jemaat Efesus sebagai
modal dasar dalam mewujudkan pembangunan
jemaat di Efesus.
Tubuh manusia sebagai gambaran kesatuan jemaat. Setiap anggota tubuh
berbeda, namun bukan untuk saling bersaing dan menjatuhkan, melainkan untuk
saling membutuhkan, bekerja
sama, bahu membahu
satu dengan yang lainnya.
Untuk memelihara kesatuan itu dibutuhkan enam sifat dasar yang harus
dimiliki jemaat Tuhan yaitu rendah hati, lemah lembut, sabar, kasih, berusaha
memelihara kesatuan roh dan mengusahakan kondisi damai sejahtera. Kesatuan itu harus diupayakan oleh jemaat
Tuhan, karena pada dasarnya kita mempunyai dogma yang satu, roh, pengharapan, Tuhan, iman,
baptisan, Allah dan Bapa yang satu. Pemahaman dogma yang satu itu harus menjadi
dasar terwujudnya kesatuan jemaat Tuhan.
Namun dalam rangka mewujudkan kesatuan dalam kiprah pelayanan itu, Paulus
mengingatkan kepada jemaatnya itu, bahwa dalam mewujudkan pembangunan jemaat
dibutuhkan karunia-karunia dan talenta dari masing-masing jemaat. Melalui
karunia dan talenta itu, mereka akan bisa dan mampu mengemban misi agung
“..menjadi satu dengan Kristus sebagai kepala”. Karunia itu adalah alat untuk
membangun dan mempersatukan serta mencapai tujuan. Apabila di dalam
mempergunakan karunia itu tidak di dasarkan kasih, maka akan menjadi senjata
untuk berperang seperti jemaat di Korintus (I Kor 1:1-17 ; 3:1-9 band.
12:1-12).
Sepeda motor untuk dapat mencapai tujuan harus bergerak maju dengan arah
sasaran yang benar. Bukan berjalan ditempat dan bukan berjalan mundur. Apa lagi
diam ditempat. Itulah sebenarnya yang harus menjadi semangat, harapan dan kerja
kiprah gereja ---bukan berarti selama ini tidak mempunyai semangat itu---
berjalan maju dengan arah sasaran yang benar. Walaupun tidak perlu tancap gas
dengan cepat. Pelan tapi pasti dan bukan merambat menuju sasaran ke depan.
Untuk itu dibutuhkan keterlibatan peran aktif dari semua warga jemaat mela
lui karunia dan talentanya masing-masing sebagai wujud luapan syukur atas rahmat
dan berkatNya yang senantiasa kita rasakan. Keiklasan kita berkiprah dalam
praksis pelayanan dapat diwujudkan melalui keterlibatan semua warga jemaat yang
menghayati akan tugas dan panggilannya.
Hal yang
kedua, Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D, dalam bukunya Bergereja,
Berteologi dan Bermasyarakat[3]
menerangkan adanya banyak kesalahpahaman tentang makna dan fungsi gereja. Dunia
Kekristenan sangat lekat dengan istilah ‘melayani’. Namun dalam realitasnya,
pelayanan yang dilakukan adalah hanya dalam pemahaman ritual saja’ yatiu
dibatasi hanya dalam ibadah dan upacara-upacara agama. Padahal dalam warisan
tradisi iman yaitu dalam Alkitab PL maupun PB pelayanan itu mencakup baik segi
ritual maupun tindakan etis.
Ia
menegaskan pemakaian kata abodah dalam bahasa Ibrani yang berarti
kebaktian/ibadah atau kerja. Demikian pula kata Leitourgein yang berarti
kebaktian/ibadah maupun pelayanan diakonia kepada orang-orang miskin. Itu
berarti bahwa kebaktian/ibadah tidak boleh hanya dibatasi pada ritual
(kebaktian dan upacara-upacara agamawi saja), melainkan lebih dari pada itu
adalah harus menuju kepada tindakan nyata yaitu pelayanan kepada masyarakat
luas. Tembok gereja kita yang tebal, besar dan tinggi harus di ‘robohkan’
sehingga gereja bisa melihat dan merasakan bahkan lebih dari itu bisa ikut
mengulurkan tangannya bagi perwujudan yang berpihak kepada kaum miskin (baik
warga jemaat maupun masyarakat). Kalau
atau selama pelayanan dianggap hanya sebagai aspek ritual saja, maka pelayanan
gereja tidak akan pernah menjadi pelayanan sosial yang menjangkau masyarakat
luas.
EG Singgih
melanjutkan pemahamannya bahwa gereja mempunyai tugas dan tanggung jawab yaitu
membangun generasi profesional mandiri yang berwawasan sosial Hal itu dilakukan dalam dual hal pokok: Pertama:
Memperluas wawasan pelayanan dari hanya sebagai ritual saja ke suatu pelayanan
menyeluruh (holistik) yang meliputi juga
hal-hal etis yaitu dengan membuat kompleks pusat jemaat menjadi sebuah
community centre dan bukan sekadar tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan
spiritual saja. Inilah sebenarnya gereja yang bisa melibatkan jemaat secara
langsung dalam aspek-aspek pelayanan social. Hal-hal yang mungkin bisa
dilakukan, misalnya: Pelayanan Kesehatan, membuka Toko Serba Ada (Koperasi),
Namun juga bisa dilakukan dengan kerja sama dengan instansi lain,
seperti: kursus perbengkelan, Komputer, Jahit, Elektronik, dll. Kedua:
Memperluas pengertian diakonia sehingga tidak hanya melayani jemaat saja
melainkan juga masyarakat. Gereja harus
sudah berpikir pada pengembangan pelayanan Diakonia yang selama ini hanya
ditangani oleh Majelis. Agar pelayanan Diakonia dapat semakin lebih maksimal
dan dapat semakin dirasakan jemaat, maka memang perlu dikembangkan menjadi
Komisi Diakonia sehingga warga juga dapat ikut serta terlibat aktif untuk pengembangan
pelayanan. Sehingga bentuk pelayanan tidak hanya pada bea siswa, warga
pangrimat maupun tali asih kepada yang sakit saja, melainkan lebih luas dari
itu, memberikan bekal skil keterampilan kepada warga jemaat agar bisa hidup
mandiri (Diakonia Reformatif). Hal tersebut bisa dilakukan gereja dengan
bekerja sama dengan instansi-instansi lain seperti: Perbengkelan, Menjahit,
maupun kursus-kursus lainnya yang diminati. Di sini gereja bekerja sama dengan
instansi-instansi tersebut dalam hal pemberian dana sampai kursus selesai.
Sehingga tidak hanya model Diakonia Karikatif atau belas kasihan saja (memberi
ikan) yang selalu ditekankan, melainkan ditingkatkan ke Diakonia Reformatif
(memberi kail) bahkan sampai pada Diakonia Transformatif (hak untuk memancing)
yaitu gereja menolong warga jemaat/masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan
Diakonia Reformatif agar bisa berwiraswasta sendiri (=membuka lapangan
pekerjaan). atau setidaknya mereka bisa mencari pekerjaan sendiri. Diakonia Transformatif juga dapat diwujudkan
dalam bentuk: memberi bantuan perlindungan hukum kepada warga jemaat yang
sedang bermasalah dengan hukum, Gereja memberikan bantuan pertolongan KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga), gereja dapat memberikan pertolongan kepada
warga gereja yang tertindas, dll.[4]
Pdt. Dr.
Djaka Soetapa dalam tulisannya ‘Dasar Hidup Bersama dalam Kemajemukan Agama’
yang teragkum dalam Buku Keadilan Dalam Kemajemukan[5]
mengkisahkan perjumpaan antara Petrus yang adalah murid Yesus dengan Kornelius
yang adalah Perwira pasukan Itali (orang Kafir). Pusat dari perjumpaan itu yang
terjadi sangat dinamikmelahirkan perkataan Petrus yang angat bermakna untuk
hubungan antar agama yaitu: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak
membedakan orang’ (10:34).
Sebelum
Kornelius bertobat, ada suatu proses yang terjadi dalam diri Petrus yang pada
akhirnya melahirkan keyakinan itu, yang sebelumnya Petrus meyakini bahwa
anugerah Allah hanya terbatas bagi oarng-orang Yahudi saja. Setapak demi
setapak, Petrus meninggalkan keyakinannya yang lama itu.
Petrus
telah diproses oleh Allah melalui peristiwa: Pertama: Petrus tinggal bersama seorang penyamakkulit yang bernama
Simon (Kis 9:43, 10:5). Pekerjaan yang dilakukan oleh penyamak kulit adalah
pekerjaan yang tidak suci karena ia mengolah tubuh binatang yang sudah mati,
sehingga dirinya juga dianggap tidak suci (Bil 19:11-13). Orang Yehudi yang
sungguh-sungguh tidak akan tinggal bersama orang najis (penyamak kulit). Kedua: Dalam visi yang diterimanya
dirumah penyamak kulit itu, Petrus dipersiapkan Tuhan untuk meninggalkan
kebiasaannya yang lama Yahudi yang didalamnya ia hidup. Ketiga: Tamunya yang non Yahudi itu diterimanya dengan baik dan
bahkan diajaknya menginap (Kis 10:23). Seorang Yahudi yang sungguh-sungguh
tidak pernah akan mau diajak atau mengajak orang yang bukan Yahudi untuk
tinggal bersama atau menginap. Keempat:
Selanjutnya Petrus mengunjungi Kornelius yang bukan Yahudi dan menyatakan
dengan jelas tentang sikap dan keyakinannya (Kis 10:28). Sedikit demi sedikit
‘tombok pemisah’ itu mulai berguguran
dan itulah yang terjadi di dalam Petrus. Kelima:
Pada pihak lain Kornelius menjadi bertobat dan oleh kuasa Roh Kudus bersama
dengan orang-orang lain dibaptiskan. Petrus juga tinggal beberapa lama dengan
orang-orang itu.
Oleh karena
adanya perjumpaan, perkunjungan dan menginap mengakibatkan Petrus berkembang
dalam keyakinannya. Ia menjadi mengerti bahwa Allah tidak pernah membeda-bedakan
orang dalam artian bahwa Allah menginginkan kepada semua umat agar mendapatkan
keselamatan dan kesejahteraan hidup. Apa yang dialami Petrus menjadi pelajaran
yang sangat berharga bagi kehidupan keagamaan ditengah-tengah masyarakat yang
majemuk ini.
Marilah kita bersama bersatu melalui berbagai karunia dan
talenta masing-masing untuk mewujudkan visi-misi dengan motto: DEMAK (Dadi Etuk Margining Allah
Kaswargan). Jemaat GKJ Demak
tertantang untuk bisa merasakan etuk (sumber) berkat keselamatan dan harus bisa
menjadi margi (jalan) berkat
keselamatan Allah tersebut bagi semua umat manusia.
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 103.
[3] Pdt. Prof. Emanuel Gerrit
Singgih, Ph.D, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 1997, h. 91-102
[5] Pdt. Dr Sularso Sopater, dkk
(Penyunting), Keadilan Dalam Kemajemukan, Jakarta: PT Sinat Agape Press,
1998, h. 121-122.






0 komentar:
Posting Komentar