Senin, 25 November 2019

Perutusan dalam Praksis Pelayanan Fungsional (Roma 12:1-8)




PENDAHULUAN

Tema : Perutusan Dalam Praksis Pelayanan Fungsional dalam mewujudkan visi 20 tahun ke depan yaitu Menjadi Gereja Misioner. Fokus prioritas program di tahun ini adalah memfungsikan secara optimal keberadaan Komisi-komisi, Forum atau Tim yang terhimpun ke dalam layanan fungsional dimaksud untuk bersama membangun gereja melalui pelayanan fungsional dibidangnya masing-masing. Yang terasuk dalam layanan fungsional(=kategori profesi maupun kategori Pelayanan)[1] ini adalah  Komisi Pralenan, Forum Komunikasi Guru-guru Kristen, Tim Relawan, Pelayanan Diakonia, Pelayanan di bidang Musik.
Kata Perutusan[2] menjadi hak paten yang melekat pada setiap orang beriman yang menyadari akan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang sudah diselamatkan serta mempunyai  tanggung jawab meneruskan dan mengumandangkan keselamatan itu kepada orang lain. Kata praksis artinya praktis (bidang kehidupan dan kegiatan-kegiatan praktis manusia)[3]. Jadi setiap perutusan pelayanan fungsional dibidangnya masing-masing harus terwujud dalam medan/bidang kehidupan manusia secara praktis dan realistis.
Jikalau istilah dimaksud dipahami dan terjabar dalam langkah karya pelayanan, maka tidak akan dijumpai akan adanya kemamdegan (=tidak berfungsi) dari masing-masing layanan tersebut. Sebab kemandegan dari sebuah pelayanan berarti sebuah beban yang harus ditanggung gereja. Adanya Komisi, Tim ataupun Forum dibentuk untuk sebuah kekuatan gereja agar semakin maju, bertumbuh dan berkembang, bukan menjadi beban gereja.   

PEMAKNAAN AYAT

Memahami hal tersebut di atas, maka landasan dasar firman untuk tema tersebut diambil dari surat Roma12:1-8. Melalui firman tersebut Paulus memberikan nasihat penggembalaan kepada jemaat di Roma, sebagai berikut:

1.    Ibadah yang sejati adalah mempersembahkan tubuh  ---semua yang dikerjakan oleh tubuh setiap hari---  sebagai persembahan yang sejati. Bukan hanya mempersembahkan dalam bentuk liturgis dan bukan pula hanya dalam bentuk upacara keagamaan, melainkan lebih dari itu mempersembahkan kehidupan sehari-hari yang benar dan yang sesuai dengan kehendakNya[4]. Seseorang bisa berkata: ”Saya akan pergi ke gereja untuk beribadah kepada Allah”. Itu benar dan tidak salah, tetapi dia seharusnya juga berkata: ”Saya akan pergi ke Pabrik, ke Toko, ke Kantor, ke Sawah, ke Sekolah, ke Kebun, bermain untuk beribadah kepada Allah”. Jadi seantero aktifitas kegiatan kehidupan kita dimulai dari konsep berpikir, berkata-kata dan bertingkah laku harus menjadi bagian sentral dari ibadah kita sebagai persembahan yang sejati. Jikalau hal tersebut dipahami dan dimengerti oleh setiap orang beriman, maka di dalam setiap langkah aktifitasnya akan selalu mengupayakan dan mengutamakan kekudusan hidup untuk menjaganya tidak berbuat dosa.

2.     Lebih lanjut dalam ayat 3-8 Paulus memberikan penekanan pada pemahaman gereja sebagai tubuh Kristus. Gereja sebagai tubuh Kristus harus nyata dalam setiap bagian-bagiannya dapat berfungsi. Berfungsinya sebuah gereja akan nampak dari pertumbuhan yang terjadi, oleh karena seriap bagian-bagiannya  (=wadah-wadah layanan seperti Komisi-komisi, Forum, Tim) dapat menyatakan fungsinya[5].

3.     Hal berikut yang menjadi penekanan adalah tentang  karunia-karunia di dalam jemaat. Bahwa karunia-karunia yang bermacam-macam itu adalah pemberian Allah yang harus dikembangkan dan dipertanggungjawabkan dalam pelayanan sebagai ucap syukur persembahan yang sejati. Apun karunia jemaat, ia harus mengembangkan dan mempertanggungjawabkan dengan motifasi bukan untuk kepentingan diri pribadi, tetapi keyakinan bahwa itu adalah tugas dan kehormatan yang Allah berikan kepadanya untuk mengambil bagian dalam tugas pelayanan[6].

4.     Namun perlu diingat bahwa krunia-karunia yang berbeda-beda satu dengan lain itu ”terbatas”[7].
Sebagai contohnya adalah ilustrasi antara seekor Anjing dengan seekor Belalang. Suatu saat Anjing dan Belalang beradu lomba melompat pagar. Yang menang adalah si Anjing karena memang pandai melompat pagar dibanding Belalang. Lomba yang ke dua adalah melompat ditempat. Pemenangnya adalah yang bisa melompat tinggi ditempat dan lama. Pemenangnya adalah Belalang. Akhirnya mereka mengakhiri perlombaan dan saling mengakui kehebatan lawannya. Anjing memang mempunyai talenta kelebihan melompat dan ia menang, tetapi Anjing itu mempunyai kelemahan keterbatasannya yaitu tidak bisa melompat ditempat karena badannya gemuk, sedangkan Belalang memang mempunyai talenta melompat ditempat, namun ia juga mempunyai kelemahan/keterbatasan yaitu tidak bisa melompat pagar yang tinggi.
Si Anjing dan Belalang mempunyai talentanya masing-masing, tetapi juga mempunyai kelemahan/keterbatasannya masing-masing. Si Anjing menang tetapi kalah, demikian juga dengan Belalang. Itulah yang diartikan dengan ”terbatas”. Demikian pula dengan manusia yang dikaruniai talenta, namun toh ”terbatas”. Ia mampu dan mahir dalam bidangnnya, tetapi menyerah dalam bidang lainnya. Itulah yang dimaksud dengan ”terbatas”

Memahami hal tersebut di atas, maka dalam hal pembangunan jemaat tidak bisa hanya diserahkan kepada seseorang, namun membutuhkan keterlibatan peran aktif setiap jemaat untuk berkerja sama, saling medukung dan saling menerima satu dengan yang lainnya. Teringatlah kita akan pesan dan enekatan dari seorang tokoh pembangunan jemaat yaitu Rick Warren Ia mengatakan: ”... Allah mengharapkan jauh lebih banyak dari setiap oang Kristen. Ia (=Allah) mengharapkan setiap orang Kristen menggunakan karunia dan talentanya  dalampelayananJikalau kita dapat membangunkan dan melepaskan talenta,  sumber kemampuan, kreatifitas dan energi yang besar  ---yang selama ini tidak aktif---  Kekristenan akan mengalami ledakan  angka pertumbuhan yang tidak pernah terjadi sebelumnya[8].
Demak yang kita artikan sebagai Dadi Etuk Margining Allah Kaswargan dikandung maksud bahwa jemaat GKJ Demak harus dapat mengupayakan fungsinya tidak hanya menjadi etuk (sumber) berkat, tetapi juga harus bisa menjadi margi (jalan) atau salurab berkat bagi sesama. Hal tersebut harus terjadi sebagai upaya mewujudkan visi – misi : Menjadi Gereja Misioner.
Oleh karena itu, mengharap kepada Komisi Pralenan,  Forum Komunikasi Guru-guru Kristen, Tim Relawan, Pelayanan Diakonia maupun pelayanan musik untuk bisa lebig optimalkan kiprah pelayanan melalui program-programnya. Setidak-tidaknya di tahun ini sudah mulai terbuka wawasan kita untuk bisa menjadi saluran berkat, seperti pesan Jimmy Oentoro[9]: ”Gereja bukan sekolah, tetapi Allah ingin gereja mendidik orang dalam kebenaran. Gereja bukan bank, tetapi Allah akan mencurahkan berkat keuangan bagi kota melalui gerejaNya. Gereja bukan ABRI, namun gerejalah yang mempertahankan kota dihadapan Allah supaya tidak dihancurkan. Gereja bukan Polisi, namun gerejalah yang menutup tempat-tempat pelacuran-perselingkuhan, perjudian dan kenajisan. Gereja bukanlah rumah sakit, namun orang mengharapkan kesembuhan dalam gereja. Gereja bukanlah tempat rekreasi, namun pemulihan dan penyegaran jiwa hanya bisa diharapkan di gereja.  Gereja bukan restoran, namun Allah ingin agar gereja memberi makan pada yang kekurangan.
Dari gereja, mengalir aliran ”air kehidupan” bagi seluruh kota”. Itulah sebenarnya jati diri gereja, oleh karena itu marilah kita upayakan dan kita perjuangkan agar kasihNya nyata dalam kehidupan umat manusia melalui gerejaNya GKJ Demak. Amin.



[1]    Sinode GKJ, Tata Gereja Tata Laksana GKJ, Ps. 18, Sala tiga: Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa, 2005,  h.62-63
[2]     Lihat dan baca Buku Pedoman ini dihalaman 1-2 tentang pengertian perutusan yang diambil dari akar kata Misioner
[3]     Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga), Jakarta: Balai Pustaka, 2005, H.892.
[4]       Willian Barcley, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Roma, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990. h.234-236
[5]  Ibid., h. 237-238
[6]  Ibid., h. 239-243
[7]   Parlindungan Marpaung, Setengah Isi, Setengah Kosong, (Half Full-Half Empty), Bandung: MQS Publishing, 2008, h.173-177
[8]  Rick Warren,  The Purpose Driven Church (Pertumbuhan Gereja Masa Kini), Malang: Gandum Mas, 2006, h.373-374.
[9]  Dr. Solarso Sopater, Drs. Bambang Subandrio, S.Th., Dr. JH Wirakotan (Penyunting), Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja (Seri Membangun Bangsa), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, h.203-204.

“Pengembangan Pelayanan Diakonia Reformatif dan Transformatif” (Lukas 4:18,19).



PENDAHULUAN

Harapan yang terkandung dari tema Pengembangan Pelayanan Diakonia Reformatif dan Diakonia Transformatif adalah terwujudnya bentuk layanan yang memberi perhatian kepada kesejahteraan hidup jemat. Apakah dalam wujud sebagai penyalur (=jembatan) atau dalam wujud wadah usaha kerja. Oleh karena itu diharapkan masing-masing Komisi/Forum/Tim ada suatu kerjasama dalam pengupayaannya.
Jikalau kita mencermati Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ menjelaskan tentang pelayanan holistik yang harus ada dan terjadi di setiap gerejaNya. Pelayanan holistik adalah pelayanan yang menyeluruh meliputi mengatur kehidup an/pemerintahan (organisasi) gereja yang menjadi tugas utama Penatua. Pe ngajaran dan sakramen yang menjadi tugas utama Pendeta dan pelayanan kasih dengan memperhatikan kesejahteraan hidup jemaat dan masyarakat yang men jadi tugas utama Diaken.[1]
Dalam realita pelayanan sering hanya memberi penekanan kepada peningkatan iman jemaat dan kehidupan/pemerintahan (organisasi) gereja serta sering menekankan  bagaimana jemaat harus mempunyai peningkatan kesadaran berpersembahan. Kita kurang memperhatikan sumber pendapatan (=pekerjaan) jemaat dan tentang hal kesejahteraan hidup jemaat.
Salah satu tema diskusi dalam Sidang Raya PGI XVI di Gunung Sitoli, Pulau Nias, Sumatera Utara adalah tentang Pemberdayaan Ekonomi Jemaat dan Pengentasan Kemiskinan. Pokok diskusinya adalah bahwa pemberdayaan ekonomi jemaat merupakan bagian dari pelayanan diakonia gereja. Dalam rangka mengembangkan ekonomi jemaat, dimaksudkan agar dengan inisiatif bersama, maka upaya-upaya untuk mengembangkan ekonomi jemaat (secara pribadi maupun keluarga) di jemaat bisa bergulir.
Sudah saatnya dan demi terwujudnya tema 2019 tersebut kita memberi perhatian pada sisi kesejahteraan jemaat terkhusus dalam hal pendampingan ketrampilan dan maupun usaha kerja. Dikandung maksud agar pelayanan gereja benar-benar menuju ke pelayanan yang holistik. Tidak hanya pada penekanan kehidupan dan pemerintahan gereja dan tidak hanya kepada pengajaran gereja namun juga memberi keseimbangan kepada kesejahteraan jemaat yang meluas kepada masyarakat.
Diakonia dalam tradisi Gereja yang sempit diwujudkan dalam kegiatan menyantuni orang miskin, terlantar, dan sakit (=Diakonia Karitatif). Diakonia dalam makna yang lebih luas adalah melayani supaya orang hidup, dalam segala kepenuhannya (=Diakonia Reformatif). Maka mengupayakan lapangan kerja bagi yang kena PHK atau tidak bekerja, mengupayakan keterampilan dan keahlian untuk modal bekerja, menghubungkan dengan pihak-pihak yang membutuhkan tenaga kerja, mengupayakan tumbuhnya usaha rumah tangga untuk mendapatkan tambahan penghasilan dan kegiatan yang produktif, dan mendukung semua upaya mengembangkan ekonomi dengan semangat kasih yang sedia berbagi, hidup bersahaja, dan mempunyai prioritas itulah arahan pencapaiannya.[2]
Sehingga pada saatnya, jemaat dapat hidup dan menghidupi kebutuhannya sendiri mencapai kebahagiaannya (Diakonia Transformatif). Gereja yang tidak berdiakonia adalah gereja yang mati; mengabaikan karunia-karunia Allah dan belum sungguh-sungguh menghayati kasih Kristus.[3]

PEMAKNAAN AYAT

Lukas 4:18,19
“Roh   Tuhan   ada   padaKu,   oleh   sebab   Ia   telah   mengurapi   Aku,   untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk  memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk  membebaskan   orang-orang   yang  tertindas, untuk  memberitakan tahun  rahmat Tuhan telah datang.”
Melalui ayat tersebut Tuhan Yesus menegaskan  bahwa  kehadiran-Nya  di dunia adalah untuk menghadirkan “pembebasan” bagi manusia. Pembebasan ini tidak hanya dalam arti spiritual berupa pembebasan dari dosa, gangguan roh-roh jahat serta berorientasi kepada yang Ilahi,  tetapi  juga pembebasan dalam arti  sosio-budaya : dari  kemiskinan, kebodohan, keterbelengguan strata sosial dan kemiskinan  relasi sosial dengan pihak lain. Bagi  Tuhan Yesus, pembebasan adalah pembebasan yang bersifat holistik, menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia baik secara rohani maupun jasmani.
Landasan   Teologis   bagi keterlibatan Gereja dalam pembangunan kesejahteraan sosial bertumpu kepada apa yang telah dilakukan  oleh Tuhan Yesus sendiri.  Ia menjelma  menjadi  manusia dalam rangka mewujudkan keselamatan bagi manusia, termasuk di dalamnya adalah pembangunan kesejahteraan sosial. Ia merasakan kelaparan yang sama dengan orang-orang di sekitarnya. Ia mengalami penderitaan akibat penjajahan Romawi sama seperti manusia sezaman-Nya. Ia tidak duduk di istana atau tinggal di balik bangunan   megah   yang   tertutup   rapat   dengan   penjagaan   ketat,   tetapi   Ia   duduk   bersama kumpulan   orang   berdosa   (Mar 2,16). Hal itu semua dilakukanNya untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia dengan memberikan kehidupan yang berkelimpahan.
Solidaritas   Kristus   atas   manusia   sebagai puncak   dan   pusat karya-Nya   menjadi dasar untuk pekerjaan-pekerjaan sosial yang dilakukan Gereja dalam pengembangan karya sosial ekonomi dewasa ini. Allah  menghendaki setiap  manusia berkembang ke arah  martabat sebagai citra Allah dengan  terpenuhinya   kebutuhan dasar : sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu, Gereja tidak  boleh tinggal diam dalam upaya pembangunan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dan warganya.[4]

APLIKASI

Dengan meneladan Kristus yang datang kepada manusia untuk memberi hidup, maka tujuan Gereja dalam mengusahakan kesejahteraan sosial adalah untuk memelihara dan bertanggungjawab atas pribadi manusia yang telah dipercayakan Kristus kepadanya agar setiap manusia dapat hidup dalam martabat sebagai citra Allah dengan terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Dalam perspektif ini, keterlibatan Gereja dalam permasalahan sosial dan upaya peningkatan   sosial   ekonomi   harus   benar-benar   mewujud secara nyata baik dijemaat demikian pula di tengah  masyarakat sebagai jawaban Gereja atas  persoalan  sosial ekonomi yang muncul.

PENGEMBANGAN PELAYANAN  DIAKONIA REFORMATIF DAN TRANSFORMATIF

E Gerrit Singgih[5] menjelaskan bahwa perhatian pada sumber daya manusia hal itu berarti membentuk generasi profesional mandiri. Sehingga yang menjadi perhatian adalah bagaimana meningkatkan sumber daya tersebut sehingga potensinya dapat berlipat ganda dan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Gereja dalam berpelayanan tidak hanya terpusat pada moral-iman-ritual dan pemerintahan/kehidupan bergereja saja melainkan harus sampai kepada pelayanan kesejahteraan kehidupan finansial jemaatnya.
Di sinilah peran penting diakonia yang secara kelembagaan menjadi tugas dan tanggung jawab Majelis Diaken, Komisi Diakonia, Tim Peberdayaan Ekonomi Jemaat (TPEJ) bahkan juga Komisis/Forum/Tim yang mempunyai program pemberdayaan ekonomi. 

1.        Pengertian Diakonia

Secara harafiah, kata diakonia berati “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan). Dalam PB, ada 5 kata lain yang memiliki makna “melayani” : douleuin (melayani sebagai budak Roma 1:1), latreuein (melayani Tuhan, bukan untuk sesama Roma 12:1), leitourgein (melayani umum, demi kesejahteraan rakyat Roma 15:27, 2 Kor. 9:12), therapeuein (mengurus atau menyembuhkan), huperetein (pelayan hukum Mat. 5:25).
Kelompok kata diakonein mempunyai nuansa khusus, yaitu menyangkut/kena mengena dengan pelayanan antar sesama manusia. Kata ini mula-mula berarti : pelayanan pada meja makan, naik dalam arti mempersiapkan jamuan makan (Kis. 6:2) maupun dalam arti pekerjaan pelayan meja, yang siap melayani para tamu (Luk. 12:37; 17:8; Yoh. 2:5,9). Pelayanan seperti itu biasanya dianggap pekerjaan yang rendah, yang dilakukan oleh para budak saja (Yoh. 13:4). Dari arti harafiah ini terungkap juga arti melayani sesama secara umum, yaitu sesama yang lebih rendah kedudukannya (Luk. 22:26,27). Mengenai para wanita yang mengikuti Yesus dikatakan mereka melayani-Nya dengan harta benda (Luk. 8:3), sementara Matius 25:31 – 46 melukiskan pelayanan sebagai memberi makan dan minum, memberi pakaian dan tumpangan, perawatan dan kunjungan orang yang sakit serta para tahanan yang dilihat sebagai pelayanan kepada Tuhan Allah.[6]
Dalam perkembangan selanjutnya, kata diakonia dipakai oleh Gereja untuk menyebut semua pekerjaan pelayanan yang dilakukan oleh orang-orang beriman maupun oleh Gereja kepada sesama yang menderita, yang miskin, dan yang tertindas.

2.        Diakonia Reformatif

Diakonia Reformatif adalah pelayanan yang dilakukan dengan cara memberikan fasilitas dan keterampilan-keterampilan tertentu bagi kelompok-kelompok yang dibantu sehingga ia mampu mendapatkan hasil usaha dari apa yang telah dilakukannya sendiri. Analogi model ini adalah memberikan kail ketrampilan memancing supaya ia mengusahakan sendiri.
Pelayanan jenis ini berusaha meningkatkan kehidupan atau kondisi yang dilayani, misalnya melalui penyuluhan atau pemberian bantuan berupa modal kerja, penyelenggaraan kursus-kursus keterampilan atau gereja menjadi penyalur (=menghubungkan) dengan instansi-instansi tenaga kerja, seperti BLK dan menjadi penyalur (=mencarikan) lapangan pekerjaan.[7]

3.        Diakonia Transformatif

Diakonia Transformatif adalah pelayanan gereja secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi-sektoral (ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama) yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya. Diakonia ini bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup. Dianalogikan dengan gambar mata terbuka artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.[8]
Analogi diakonia ini adalah kelanjutan dari Diakonia Reformatif yaitu setelah orang kelaparan tersebut diberikan pancing dan diajari teknik memancing, orang tersebut pergi ke sungai untuk memancing, ternyata dia diusir dari sana, karena sungai tersebut telah dikuasai oleh orang lain. Lalu pergi ke sungai yang lain lagi, disana dia mengalami kekecewaan karena di sungai itu tidak ada ikan lagi, airnya sudah tercemar berat oleh limbah pabrik maka ia harus berusaha mancari tempat lainnya lagi sampai menemukan dan dapat memancing dan dapat ikan banyak.

SASARAN PENCAPAIAN

Tema ini memberi penekanan kepada kebutuhan finansial hidup jemaat yang diwujudkan dalam pemberdayaan ekonomi jemaat dengan harapan terjadi peningkatan kesejahteraan jemaat. Namun demikian pelayanan moral-iman-ritual dan pemerintahan/kehidupan bergereja tetap menjadi program dan tetap dilaksanakan.




























[1] Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa, Tata Gereja dan tata Laksana Gereja Kristen Jawa: Salatiga,  Sinoge GKJ, 2018, h.17  band. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Ps.6,7, 2005.
[2] https://pgi.or.id/sr-xvi-pgi-pemberdayaan-ekonomi-jemaat-tak-lagi-bicara-teori/
[3] G Riemer, Jemaat Yang Diakonal (Perspektif Baru Dalam Pelayanan Kasih): Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004, h.127.
[4] http://www.kepraya.org/gereja-dan-pemberdayaan-sosial-ekonomi-masyarakat/
[5] Emmanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat: Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 2007, h.88-102.
[6] A Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja: Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, h.2-4
[7] Jump to navigation Jump to search  band. https://hesron89.wordpress.com/2013/05/03/gereja-dan-diakonia/
[8] Loc. Cit.


Pelayanan Pemberdayaan Potensi Berbasis Jemaat dan Masyarakat (Mazmur 104:14, Yesaya 40:6-8)






PEMAHAMAN TEMA

Pemahaman tema dapat di mengerti dengan terlebih dahulu menjelaskan pengertian potensi. Potensi dipahami sebagai kemampuan atau kekuatan atau kesanggupan atau daya yang dimiliki oleh setiap manusia.[1]
Agar potensi tersebut dapat tergali dan bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain, terlebih dapat untuk kemuliaan Tuhan, maka harus dilakukan pemberdayaan. Kata pemberdayaan berarti melakukan tindakan memberdayakan yaitu suatu upaya-upaya melalui cara-cara agar menjadi berdaya, berkekuatan, berkemampuan ataupun bertenaga.[2]
Siapakah yang menjadi obyek sekaligus subyek dari pemberdayaan ini? Adalah semua warga jemaat GKJ Demak tanpa terkecuali dan masyarakat umum yang bisa terjangkau. Semua harus proaktif dan berdaya guna. Itulah basisnya yaitu warga jemaat GKJ Demak dan masyarakat umum yang merupakan pangkalan[3] atau tempatnya untuk melakukan upaya-upaya melalui cara-cara yang ditetapkan guna mengungkit  potensi dimaksud. Dengan kata lain, jikalau kita bicara tentang penggalian potensi dan manusia sebagai obyek sekaligus subyek sasaran, hal itu berarti kita berbicara tentang SDM (Sumber Daya Manusia). Oleh karena itu yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana meningkatkan sumber daya tersebut sehingga potensinya dapat berlipat-ganda dan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.[4]  
Olah potensi itulah yang kita maksudkan dengan pelayanan. Hal itu berarti bahwa pelayanan adalah suatu aktifitas berbuat dan bertindak secara proaktif, inisiatif, kreatif, inofatif serta tepat guna. Pelayanan bukan “duduk termangu menunggu yang datang”. Pelayanan bukan pula melihat sambil menunjuk-nunjuk kesalahan.   
Jadi tema ini dimaksudkan agar potensi-potensi yang ada pada setiap basis warga jemaat  benar-benar tergali menjadi suatu kekuatan atau kemampuan atau tenaga yang dapat dijadikan sebagai modal dasar  untuk berkarya dalam  pelayanan secara holistik sampai ke ranah masyarakat. Walaupun penekananan tema pada ranah finansial ekonomi jemaat, hal itu tidak berarti ranah rohani (=spiritualitas) juga harus tetap berjalan seimbang.
Tulisan Pdt Josef P Widyatmaja, M.Th tentang Praksis Teologi Akar Rumput dalam Kehidupan yang dimuat di Buku Teologi Operatif (Berteologi dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia)[5] mengungkapkan pemaknaan akan tanaman Rumput yang member kehidupan.

SEBUAH ILUSTRASI

Percakapan antara pohon cengkeh, kelapa, beringin dan rumput. Pohon Cengkeh: Saya adalah pohon yang paling kaya sebab dapat menghasilkan cengkeh untuk kebutuhan pabrik rokok. Berbicara tentang cengkeh adalah berbicara tentang uang sebab dari cengkeh menghasilkan rokok dan dari rokok keluarlah uang. Dengan uang orang bisa melakukan apa saja.
Pohon Kelapa: Saya adalah pohon yang paling pintar sebab saya bertumbuh tinggi. Semua bagian tubuh saya dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Daun, batang, lidi, buah dan sabut kelapa semua bermanfaat. Aku dibutuhkan dan dicari oleh samua manusia.  Oleh karena aku, manusia dapat menjadi kaya.
Pohon Beringin: Saya adalah pohon yang paling berkuasa di Indonesia. Sebab aku selalu dicari semua orang dari segala penjuru pada setiap malam Kamis Kliwon hanya untuk meminta berkat dari saya. Manusia bisa mencapai apa yang diinginkan, terkabul cita-citanya: pangkat, jabatan, kekayaan  oleh karena berkatku.
Bagaimana dengan Rumput? Tidak ada sesuatu yang dapat dipamerkan. Katanya:”Aku adalah rumput yang  malang. Tubuhku kurus tandaa kurang makan. Kalau akau tumbuh makin tinggi, manusia memangkasku dan binatangpun memakanku. Setiap hari aku diinjak-injak. Kotoran dan bau yang tak sedap sering dilempar kepadaku.  Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku banggakan seperti Cengkeh, Kelapa dan Beringin. Hidupku sebagai rumput hanya laayak untuk menjadi korban. Hidupku hanya supaya makhluk lain bisa hidup.
Pada malam hari, badai dan hujan datang melanda kampung itu. Pohon Cengkeh, Kelapa dan Beringin tumbang dan hanyut semuanya. Hanya rumput yang tetap tegar, tumbuh dan berkembang semakin subur. Sehingga tetap dapat memberikan dirinya bagi ciptaan lain. “Hidup Untuk Menghidupi Ciptaan Lain”.        

PEMAKNAAN AYAT

Dalam Mazmur 104:14 memberi pemaknaan bahwa Allah menumbuhkan rumput bukan utuk bersaing dengan  cengkeh, kelapa dan beringin. Allah menumbuhkan rumput agar bisa hidup demi menghidupi hewan-hewan ciptaan Tuhan. Rumput tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan hidup untuk memberi kehidupan bagi  yang lain. Nabi Yesayapun juga mengkisahkan manusia seperti rumput yang lemah lunglai dan akhirnya mati kering (Yesaya 40:6-8).
Mencermati pola pelayanan jemaat mula-mula yang memberi penekanan pada keseimbangan segi spiritual (rohani) dan segi jasmani, maka menjadi arahan tema tahun ini yaitu Pelayanan Pemberdayaan Potensi Berbasis Jemaat dengan tekanannya pada segi spiritual (rohani) dan segi jasmani.
Dalam pelaksanaannya perlu diatur secara sistematis job discription yang jelas dimulai dari Struktur Majelis sampai ke Komisi, Forum, Tim maupun kelompok agar jelas penanganannya dan tidak “tumpang tindhih” dalam pelayanan. Oleh karena itu ada beberapa hal penting yang harus mendapat perhatian kita bersama:

1.      Tata Pelayanan Majelis.

Dalam Tata Gereja Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Penjelasan Istilah telah diterangkan bahwa yang namanya Majelis itu terdiri dari Penatua, Pendeta, Diaken yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan organisasi gereja, kesaksian dan pemeliharaan keselamatan warga gereja.[6] Lihat juga tugas Majelis dalam  Talak Ps.5(1).
Adapun tugas utama Penatua adalah melaksanakan pemerintahan gereja, dengan rincian: Penetapan visi-misi gereja, pengelolaan organisasi gereja, menetapkan kebijakan pelayanan, rapat-rapat. Talak Ps.6(3)1. 
Tugas urtama Pendeta adalah pelayanan sakramen, pelayanan pengakuan percaya (sidi), pelayanan pengakuan pertobatan,  pelayanan Penahbisan dan atau peneguhan pejabat gerejawi serta pelantikan badan-badan pembantu Majelis, Pelayanan Peneguhan Pernikahan dan Pemberkatan Perkawinan.  Talak Ps.7(4) 
Sedangkan Tugas utama Diaken adalah memelihara iman warga gereja dengan cara memperhatikan kesejahteraan hidup warga gereja dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat umum. Talak Ps. 6(3)2. Yang menjadi fokus  layanan Majelis Diaken adalah perhatiannya pada kesejahteraan hidup jemaat maupun masyarakat baik secara finansial maupun kebutuhan hidup lainnya. Penekanannya kepada segi jasmani. Dalam kaitannya dengan program Komisi, Forum, Tim, Kelompok yang mempunyai program pemberdayaan ekonomi jemaat, maka Majelis Diaken ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan program tersebut. 
Demikian pula telah dipertegas dalam Tata Laksana GKJ Ps.54 tentang Pelayanan Sosial Ekonomi. (1) Pelayanan sosial ekonomi adalah tindakan yang dilakukan oleh Gereja untuk memberdayakan warga Gereja mengatasi kesulitan dalam hal kebutuhan sosial ekonomi demi terpelihara imannya. (2) Pelayanan sosial ekonomi  yang dilakukan oleh Gereja dapat bersifat konsumtif (Kharitatif, pemberdayaan (Reformatif) dan Penyadaran (Transformatif).[7] Tiga tahapan penerapan itu diupayakan supaya tidak hanya cukup puas dengan menerima pemberian ikan terus menerus. Namun juga harus diberi kail untuk berusaha mencari/bekerja. Jikalau keduanya itu telah menjadi kebutuhan untuk dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah memotifasi agar selalu muncul  rasa tanggung jawab/sadar untuk mengupayakannya terus-menerus. 
 Walaupun Majelis –Penatua, Pendeta, Diaken-- itu mempunyai tugas utamanya masing-masing, namun juga mempunyai tugas bersama dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan gereja. Pahami  Talak Ps.5(1).

2.      Program Majelis, Komisi, Forum, Tim, Kelompok

Memperhatikan arahan tema tersebut, maka diharapkan program Majelis, Komisi, Forum, Tim, Kelompok memperhatikan keseimbangan pelayanan antara segi rohani dengan segi jasmani. Segi rohani dalam pemenuhan pertumbuhan dan perkembangan iman ke arah kedewasaan iman dan segi jasmani dalam pemenuhan kesejahteraan hidup jemaat maupun masyarakat baik secara finansial maupun kebutuhan hidup lainnya.
Itulah yang harus diupayakan untuk bisa melakukan pelayanan yang menyeluruh yang meliputi segi rohani dan jasmani jemaat. Pelayanan yang menyeluruh inilah yang dimaksudkan dengan pelayanan holistik. Harapan yang terkandung adalah jikalau pelayanan pemberdayaan ekonomi jemaat dapat berjalan terus-menerus, maka itu menjadi embrio untuk diupayakan menjadi sebuah wadah/lembaga gereja yang menangani dibidang pemberdayaan ekonomi.


[1]  Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 890.
[2]  Ibid., h. 241-242.
[3]  Ibid., h. 111
[4]  Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, Yogyakarta: Tamaan Pustaka Kristen, 2007, h. 90
[5]  Asnath N Natar, Dkk (Penyunting), (Teologi Operatif (Berteologi dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 39-51.
[6]  Sinode GKJ, Himpunan Pokok-pokok Ajaran Gereja, Tata Gereja dan Tata Laksana, Pertelaan Peraturan Pembimbingan dan Ujian Calon Pendeta, Peraturan Kesejahteraan Pendeta dan Karyawan, Salatiga: Sinode GKJ, 2005, h.111
[7]   Ibid., 221